TIPE-TIPE STRATEGI PERUSAHAAN
Strategi perusahaan atau organisasi merupakan suatu wilayah
kajian yang selalu menarik untuk dicermati. Begitu banyak pendekatan yang
dilakukan, mulai dari sangat kuantitatif sampai pada belajar dari pengalaman
sukses seseorang atau suatu perusahaan (best practices).
Setidaknya, terdapat dua aliran
besar yang dijadikan landasan pembahasan strategi perusahaan, yaitu kajian
tentang strategi-strategi utama (grand strategies) dan strategi-strategi
generik (generic strategies). Strategi utama merupakan seperangkat
alternatif strategi perusahaan yang secara umum dijadikan ‘patokan’ dalam
menentukan strategi yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Sedangkan strategi
generik ada dua, yaitu: Porter’s generic strategies dan Glueck’s
generic strategies, nama penulis yang mengintrodusir masing-masing.
Tulisan ini pada dasarnya akan
memiliki tiga pokok bahasan, yaitu: (1) Strategi Generik Porter, (2) Strategi
Generik Glueck, (3) Strategi Utama, dan (4) Efektivitas Industri vs Posisi
Kompetitif.
STRATEGI
GENERIK PORTER
Dalam analisanya tentang strategi bersaing (competitive
strategy atau disebut juga Porter’s Five Forces) suatu perusahaan,
Michael A. Porter mengintrodusir 3 jenis strategi generik, yaitu: Keunggulan
Biaya (Cost Leadership), Pembedaan Produk (Differentiation), dan Focus.
Porter Generic Strategies
1. Strategi Biaya Rendah (cost
leadership)
Strategi Biaya Rendah (cost leadership) menekankan
pada upaya memproduksi produk standar (sama dalam segala aspek) dengan biaya
per unit yang sangat rendah. Produk ini (barang maupun jasa) biasanya ditujukan
kepada konsumen yang relatif mudah terpengaruh oleh pergeseran harga (price
sensitive) atau menggunakan harga sebagai faktor penentu keputusan. Dari
sisi perilaku pelanggan, strategi jenis ini amat sesuai dengan kebutuhan
pelanggan yang termasuk dalam kategori perilaku low-involvement, ketika
konsumen tidak (terlalu) peduli terhadap perbedaan merek, (relatif) tidak
membutuhkan pembedaan produk, atau jika terdapat sejumlah besar konsumen
memiliki kekuatan tawar-menawar yang signifikan.
Terutama dalam pasar komoditi, strategi ini tidak hanya
membuat perusahaan mampu bertahan terhadap persaingan harga yang terjadi tetapi
juga dapat menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam menentukan harga
dan memastikan tingkat keuntungan pasar yang tinggi (di atas rata-rata) dan
stabil melalui cara-cara yang agresif dalam efisiensi dan kefektifan biaya.
Sumber dari keefektifan biaya (cost effectiveness) ini bervariasi.
Termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan skala ekonomi (economies of scale),
investasi dalam teknologi yang terbaik, sharing biaya dan pengetahuan
dalam internal organisasi, dampak kurva pembelajaran dan pengalaman (learning
and experience curve), optimasi kapasitas utilitas, dan akses yang baik
terhadap bahan baku atau saluran distribusi. Pada prinsipnya, alasan utama
pelaksanaan strategi integrasi ke hulu (backward integration), ke hilir
(forward integration), maupun ke samping (horizontal integration)
adalah untuk memperoleh berbagai keuntungan dari strategi biaya rendah ini.
Biasanya strategi ini dijalankan beriringan dengan strategi diferensiasi. (Lihat
David, 1998; Fournier dan Deighton, 1997; Pass dan Lowes, 1997; Porter, 1980
dan 1985).
Untuk dapat menjalankan strategi biaya rendah, sebuah
perusahaan harus mampu memenuhi persyaratan di dua bidang, yaitu: sumber daya (resources)
dan organisasi. Strategi ini hanya mungkin dijalankan jika dimiliki beberapa
keunggulan di bidang sumber daya perusahaan, yaitu: kuat akan modal,
trampil pada rekayasa proses (process engineering), pengawasan yang
ketat, mudah diproduksi, serta biaya distribusi dan promosi rendah. Sedangkan
dari bidang organisasi, perusahaan harus memiliki: kemampuan
mengendalikan biaya dengan ketat, informasi pengendalian yang baik, insentif
berdasarkan target (alokasi insentif berbasis hasil). (Umar, 1999).
2.
Strategi Pembedaan Produk (differentiation)
Strategi Pembedaan Produk (differentiation),
mendorong perusahaan untuk sanggup menemukan keunikan tersendiri dalam pasar yang
jadi sasarannya. Keunikan produk (barang atau jasa) yang dikedepankan ini
memungkinkan suatu perusahaan untuk menarik minat sebesar-besarnya dari
konsumen potensialnya. Cara pembedaan produk bervariasi dari pasar ke pasar,
tetapi berkaitan dengan sifat dan atribut fisik suatu produk atau pengalaman
kepuasan (secara nyata maupun psikologis) yang didapat oleh konsumen dari
produk tersebut. Berbagai kemudahan pemeliharaan, features tambahan,
fleksibilitas, kenyamanan dan berbagai hal lainnya yang sulit ditiru lawan
merupakan sedikit contoh dari diferensiasi. Strategi jenis ini biasa ditujukan
kepada para konsumen potensial yang relatif tidak mengutamakan harga dalam
pengambilan keputusannya (price insensitive).
Perlu diperhatikan bahwa terdapat berbagai tingkatan
diferensiasi. Diferensiasi tidak memberikan jaminan terhadap keunggulan
kompetitif, terutama jika produk-produk standar yang beredar telah (relatif)
memenuhi kebutuhan konsumen atau jika kompetitor/pesaing dapat melakukan
peniruan dengan cepat. Contoh penggunaan strategi ini secara tepat adalah pada
produk barang yang bersifat tahan lama (durable) dan sulit ditiru oleh
pesaing.
Resiko lainnya dari strategi ini adalah jika perbedaan atau
keunikan yang ditawarkan produk tersebut ternyata tidak dihargai (dianggap
biasa) oleh konsumen. Jika hal ini terjadi, maka pesaing yang menawarkan produk
standar dengan strategi biaya rendah akan sangat mudah merebut pasar. Oleh
karenanya, dalam strategi jenis ini, kekuatan departemen Penelitian dan
Pengembangan sangatlah berperan.
Pada umumnya strategi biaya rendah dan pembedaan produk
diterapkan perusahaan dalam rangka mencapai keunggulan bersaing (competitive
advantage) terhadap para pesaingnya pada semua pasar. (Lihat David,
1998; Fournier dan Deighton, 1997; Pass dan Lowes, 1997; Porter, 1980 dan 1985).
Secara umum, terdapat dua bidang syarat yang harus dipenuhi
ketika perusahaan memutuskan untuk memanfaatkan strategi ini, yaitu: bidang
sumber daya (resources) dan bidang organisasi. Dari sisi sumber daya
perusahaan, maka untuk menerapkan strategi ini dibutuhkan kekuatan-kekuatan
yang tinggi dalam hal: pemasaran produk, kreativitas dan bakat, perekayasaan
produk (product engineering), riset pasar, reputasi perusahaan,
distribusi, dan ketrampilan kerja. Sedangkan dari sisi organisasi,
perusahaan harus kuat dan mampu untuk melakukan: koordinasi antar fungsi
manajemen yang terkait, merekrut tenaga yang berkemampuan tinggi, dan mengukur
insentif yang subyektif di samping yang obyektif. (Umar, 1999)
3.
Strategi Fokus (focus)
Strategi fokus digunakan untuk membangun keunggulan bersaing
dalam suatu segmen pasar yang lebih sempit. Strategi jenis ini ditujukan untuk
melayani kebutuhan konsumen yang jumlahnya relatif kecil dan dalam pengambilan
keputusannya untuk membeli relatif tidak dipengaruhi oleh harga. Dalam
pelaksanaannya – terutama pada perusahaan skala menengah dan besar –, strategi
fokus diintegrasikan dengan salah satu dari dua strategi generik lainnya:
strategi biaya rendah atau strategi pembedaan karakteristik produk. Strategi
ini biasa digunakan oleh pemasok “niche market” (segmen khusus/khas
dalam suatu pasar tertentu; disebut pula sebagai ceruk pasar) untuk memenuhi
kebutuhan suatu produk — barang dan jasa — khusus.
Syarat bagi penerapan strategi ini adalah adanya besaran
pasar yang cukup (market size), terdapat potensi pertumbuhan yang baik,
dan tidak terlalu diperhatikan oleh pesaing dalam rangka mencapai
keberhasilannya (pesaing tidak tertarik untuk bergerak pada ceruk tersebut).
Strategi ini akan menjadi lebih efektif jika konsumen membutuhkan suatu
kekhasan tertentu yang tidak diminati oleh perusahaan pesaing. Biasanya
perusahaan yang bergerak dengan strategi ini lebih berkonsentrasi pada suatu
kelompok pasar tertentu (niche market), wilayah geografis tertentu, atau
produk — barang atau jasa — tertentu dengan kemampuan memenuhi kebutuhan
konsumen secara baik, excellent delivery. (Lihat David, 1998;
Fournier dan Deighton, 1997; Pass dan Lowes, 1997; Porter, 1980 dan 1985).
STRATEGI
GENERIK GLUECK
Glueck meyakini bahwa strategi perusahaan pada dasarnya
dapat dikategorikan ke dalam empat strategi generik, yaitu: strategi stabilitas
(stability), ekspansi (expansion), penciutan (retrenchment),
dan kombinasi (combination) dari ketiganya. (Umar, 1999).
1. Strategi Stabilitas (stability)
Pada prinsipnya, strategi ini menekankan pada tidak
bertambahnya produk, pasar dan fungsi-fungsi perusahaan karena berusaha untuk
meningkatkan efisiensi di segala bidang dalam rangka meningkatkan kinerja dan
keuntungan. Strategi ini relatif rendah resiko dan biasanya dilakukan untuk
produk yang tengah berada pada posisi matang/dewasa (maturity).
2. Strategi Ekspansi (expansion)
Strategi ekspansi menekankan pada penambahan atau perluasan
produk, pasar dan fungsi dalam perusahaan sehingga aktivitas perusahaan
meningkat. Tetapi selain keuntungan yang ingin diraih lebih besar, strategi ini
juga mengandung resiko kegagalan yang tidak kecil.
3. Strategi Penciutan (retrenchment)
Strategi penciutan dimaksudkan untuk melakukan pengurangan
atas pasar maupun fungsi-fungsi dalam perusahaan yang memiliki aliran keuangan
(cash-flow) negatif. Biasanya strategi ini diterapkan pada perusahaan yang
berada pada tahap menurun (decline).
4. Strategi Kombinasi (combination)
Oleh karena berbagai perubahan eksternal seringkali hadir
secara tidak seragam (dan bahkan terkadang sulit diduga) terhadap berbagai lini
produk (product line) yang dihasilkan suatu perusahaan seperti daur
hidup produk (product life cycle) yang tidak seragam, maka perusahaan
tersebut dapat saja melakukan kombinasi atas ketiga jenis strategi di atas
secara bersama.
STRATEGI
UTAMA
Secara garis besar, terdapat 4 kelompok strategi utama
dengan 14 tipe turunannya. Keempatbelas tipe strategi tersebut adalah sebagai
berikut (Lihat David, 1998; Porter 1980 dan 1985):
1.
Integration Strategies
Tiga jenis strategi, yaitu forward,
backward, dan horizontal seringkali disebut sebagai strategi-strategi vertical
integration. Namun, tidak jarang yang memaksudkan integrasi vertikal sebagai
hanya integrasi forward dan backward saja.
a. Forward Integration
Integrasi ke hilir melibatkan upaya untuk memperoleh
kepemilikan (saham perusahaan) lebih besar atau meningkatkan kontrol terhadap
para distributor dan peritel. Salah satu bentuk/cara efektif untuk melakukan
strategi ini adalah waralaba (franchising). Begitu banyak perusahaan
berminat di bidang ini sebagai upaya untuk mendistribusikan produknya (barang
maupun jasa). Salah satu alasan terbesar hadirnya bentuk waralaba ini adalah
realita bahwa model ini sebetulnya merupakan upaya untuk membagi biaya dan
peluang kepada banyak pihak. Perhatikan gejala bermunculannya factory outlet
yang merupakan salah satu bentuk strategi ini. Contoh lain adalah perusahaan
farmasi Kimia Farma dengan Apotik Kimia Farma-nya dan perusahaan sepatu BATA
dengan toko BATA-nya. Perhatikan pula Coca Cola dengan perusahaan pembotolan di
berbagai negara serta keputusan untuk membeli perusahaan fastfood.
b. Backward Integration
Integrasi ke hulu merupakan suatu strategi yang mengupayakan
kepemilikan atau meningkatkan kontrol terhadap perusahaan pemasok. Hal ini
dibutuhkan karena baik produsen maupun peritel selalu membeli bahan baku dari
perusahaan pemasok. Strategi ini menjadi menarik terutama ketika perusahaan
pemasok yang saat ini ada ternyata tidak dapat diandalkan (unreliable),
terlalu mahal, atau tidak dapat memenuhi kebutuhan perusahaan. Langkah ini
dapat disebut sebagai upaya “mengamankan” jalur pasokan perusahaan terhadap
kebutuhan dalam rangka proses produksinya. Contoh yang menarik adalah Harian
Jawa Pos yang mendirikan pabrik kertas untuk menjamin ketersediaan pasokan
kebutuhan bahan bakunya. Perhatikan pula Gudang garam yang memiliki pabrik
kertas rokok di Afrika.
Namun demikian, perlu pula dicermati munculnya kecenderungan
bahwa berbagai industri besar mulai melakukan aktivitas de-integrasi (deintegration),
yaitu melepas berbagai aktivitas yang “seharusnya” menjadi bagian dari
aktivitas perusahaan pemasok. Tidak tertutup kemungkinan, sampai pada level
tertentu, ternyata perusahaan menemukan bahwa integrasi ke hulu bukan lagi
solusi tepat untuk unggul dalam persaingan, karena menjadi semakin membebani
keuangan perusahaan. Oleh karenanya, kecenderungan perusahaan untuk melakukan outsourcing
kemudian menjadi berkembang pesat. Perhatikan kebijakan Sampoerna ketika
melakukan outsourcing produksi rokok kretek tangan kepada berbagai koperasi di
Jawa Tengah.
c. Horizontal Integration
Strategi integrasi ke samping merupakan strategi yang
dilakukan dalam bentuk membeli atau meningkatkan kontrol terhadap perusahaan
pesaing. Salah satu kecenderungan paling signifikan dalam kompetisi perusahaan
saat ini adalah meningkatnya upaya untuk melakukan integrasi ke samping sebagai
suatu strategi pertumbuhan. Merjer, akusisi, dan pengambilalihan perusahaan
yang sedang bersaing memberikan peluang terjadinya skala ekonomi (economies
of scale) serta mendorong terjadinya transfer sumber daya dan kompetensi
perusahaan. Dalam artikelnya, Kenneth Davidson (Davidson, 1987)
mengungkap bahwa merjer di antara perusahaan yang tidak bergerak di bidang yang
sama merupakan suatu kesalahan. Tetapi merjer yang terjadi pada perusahaan yang
sedang bersaing langsung (direct competitors) memberikan peluang yang
besar untuk menyatukan potensi agar menjadi lebih efektif, efisien, dan kompetitif.
Contoh pelaksanaan strategi integrasi horisontal adalah ketika toko obat
Guardian membeli Shop-in atau Indofood membeli SuperMie, dan ketika beberapa
bank membentuk Bank Mandiri.
2.
Intensive Strategies
Kelompok
strategi ini disebut sebagai intensive strategies, karena mensyaratkan berbagai
upaya yang intensif untuk meningkatkan posisi kompetitif perusahaan dengan
produk yang ada. Kelompok strategi ini meliputi tiga strategi, yaitu:
a. Market Penetration
Strategi penetrasi pasar berusaha untuk meningkatkan pangsa
pasar untuk produk atau layanan yang ada saat ini di dalam pasar yang ada saat
ini melalui upaya-upaya pemasaran yang lebih besar. Strategi ini umum
diterapkan baik sendiri maupun sebagai kombinasi dengan strategi lainnya.
Termasuk di dalam penetrasi pasar adalah meningkatan jumlah tenaga penjualan,
peningkatan pembelanjaan iklan, penawaran barang-barang promosi secara
ekstensif (besar-besaran), atau peningkatan upaya-upaya publisitas. Aktivitas
pemasaran dan promosi yang intensif dari A-Mild Sampoerna dan berbagai
perusahaan rokok lainnya merupakan contoh yang menarik. Demikian juga dengan
upaya McDonald untuk memberikan berbagai cinderamata menarik maupun beberapa
pabrik farmasi yang meningkatkan jumlah detailer obat-nya.
b. Market Development
Pengembangan pasar melibatkan upaya-upaya untuk mengenalkan
produk atau layanan yang ada saat ini kepada berbagai wilayah geografis baru.
Globalisasi dan iklim perkembangan pasar internasional semakin kondusif untuk
strategi ini. Hal ini dibutuhkan karena tidak jarang persaingan yang demikian
ketat pada suatu pasar tertentu menyebabkan pengalihan perhatian kepada pasar
yang baru merupakan solusi agar perusahaan tidak tersingkir dari arena
bisnisnya.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa pada wilayah-wilayah
tertentu masuknya pemain baru yang besar akan menimbulkan pergesaran equilibrium
persaingan bisnis yang ada. Oleh karenanya, tidak jarang para pemain besar akan
mengalami tantangan dari para pemain lokal sehingga terpaksa harus melakukan
berbagai konsesi yang dapat diterima. Berbagai perusahaan ritel yang bergerak
pada skala grosir dan hypermarket, sering mengalami tantangan tersebut.
Makro, Alfa, Holland Bakery, Matahari dan berbagai perusahaan lainnya, membuka
gerai baru di berbagai lokasi merupakan contoh penerapan strategi ini.
c. Product Development
Pengembangan produk yang berusaha meningkatkan penjualan
melalui perbaikan atau modifikasi produk atau layanan yang ada saat ini.
Biasanya strategi pengembangan produk tercermin pada biaya penelitan dan
pengembangan (Research and Development) yang besar. Beberapa industri
yang sangat didominasi oleh aktivitas R&D adalah otomotif, komputer, dan
farmasi. Pada industri yang berbasis R&D seperti ini, setiap keterlambatan
untuk meluncurkan sesuatu yang baru akan berarti perusahaan tersebut berpeluang
kehilangan posisi kompetitifnya. Dan oleh karenanya, aktivitas R&D menjadi
tidak pernah berhenti untuk menghasilkan suatu perbaikan yang terus-menerus (continuous
improvement). Rinso dengan berbagai variannya serta Pepsodent dengan
berbagai variannya merupakan contoh dari strategi ini. Juga munculnya berbagai
features baru pada produk Handphone, komputer, dan perusahaan jasa seperti
Telkom dengan Telkom Memo-nya merupakan contoh yang menarik.
3.
Diversification Strategies
Dari
waktu ke waktu semakin sedikit perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha,
justru karena kompleksitas persoalan yang dimunculkan oleh strategi ini. Suatu
kelompok usaha yang bergerak pada sektor yang beragam tentunya sangatlah sulit
dikelola. Pada dekade 1960-an dan 1970-an, strategi diversifikasi menjadi
populer karena setiap perusahaan berusaha semaksimal mungkin agar tidak
tergantung hanya pada satu jenis usaha saja. Tetapi konsep pemikiran tersebut
mulai surut sejak dekade 1980-an. Pada prinsipnya kecenderungan baru tersebut
dimotori oleh keinginan untuk menjadi lebih baik dan tidak bergerak terlalu
jauh dari basis kompetensi utama (core competence) setiap perusahaan.
Namun
demikian, hal tersebut bukan berarti strategi diversifikasi sudah benar-benar
hilang. Masih cukup banyak pula perusahaan yang berhasil dengan strategi ini,
terutama bagi perusahaan yang bergerak di wilayah bisnis yang mengalami
kecenderungan menurun (decline), seperti ketika Philip Morris, sebuah
produsen rokok membeli Kraft General Food, sebuah perusahaan makanan dalam
kelompok Nestle. Hal ini dilakukan karena konsumsi rokok semakin menurun akibat
peningkatan kesadaaran konsumen atas kesehatan dan bahaya rokok.
a. Concentric Diversification
Diversifikasi terkonsentrasi merupakan suatu strategi yang
menghasilkan produk atau layanan baru tetapi berhubungan/terkait dengan yang
telah ada. Contoh dari strategi ini adalah Harian Kompas yang memunculkan
berbagai suratkabar, tabloid, dan majalah baru.
b. Horizontal Diversification
Jika suatu perusahaan menerapkan strategi yang menambah
produk atau layanan baru yang tidak berhubungan/terkait dengan yang telah ada,
tetapi ditujukan kepada pasar/ konsumen yang telah ada disebut sebagai
diversifikasi horizontal. Perhatikan Garuda Indonesia Airways yang memiliki
beberapa jaringan hotel di Indonesia.
c. Conglomerate Diversification
Ketika suatu perusahaan menambah suatu produk atau layanan
baru yang tidak terkait/ berhubungan dengan yang sekarang ada, maka strategi
tersebut disebut sebagai diversifikasi konglomerat. Pada beberapa kasus terjadi
bahwa strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan melalui
aktivitas memecah perusahaan yang telah dibeli atau menjual kembali salah satu
atau lebih devisinya. Ketika Lippobank memutuskan untuk bergerak di sektor
properti atau ketika Bimantara memasuki sektor televisi merupakan dua contoh
strategi konglomerasi. Demikian pula Maspion dengan Maspion Bank-nya.
4.
Defensive Strategies
Pada
prinsipnya, strategi defensif ditujukan untuk mempertahankan eksistensi
perusahaan dari semakin ketatnya persaingan bisnis dan berbagai ketidakpastian
eksternal yang sulit (terkadang tidak mungkin) dikontrol dan diprediksi.
Strategi defensif seringpula dikenal sebagai survival strategy,
yang cenderung terjadi dalam suasana krisis ekonomi.
a. Joint Venture
Joint Venture, biasa disingkat JV, merupakan strategi yang
sangat populer. Strategi ini muncul ketika dua atau lebih perusahaan membentuk
suatu kerjasama atau konsorsium dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada
secara bersama-sama. Strategi ini masuk dalam kategori strategi defensif karena
perusahaan yang melakukan JV tidak berminat untuk bekerja/ mengambil resiko
sendiri. Tidak jarang, pihak-pihak yang bermaksud melakukan kerjasama tersebut
membentuk suatu perusahaan baru dengan tujuan menjalankan kerjasama yang
dimaksud. JV bisa terjadi dalam berbagai bentuk seperti R&D, jaringan dan
sistem distribusi, kesepakatan linsensi, kesepakatan produksi, juga upaya untuk
mengajukan penawaran bersama agar dapat memenangkan suatu tender.
JV dan kesepakatan kerjasama banyak digunakan secara luas
karena kemampuannya untuk meningkatkan komunikasi dan jaringan kerja, untuk
melakukan operasi secara global, serta untuk menurunkan resiko. Bahkan
kesepakatan kerjasama antar perusahaan yang sedang bersaing secara langsung
juga terjadi. Biasanya kesepakatan kerjasama ini merupakan jembatan untuk
mensinergikan keunggulan kempetitif di bidang masing-masing, baik itu
teknologi, distribusi, riset dasar, maupun kapasitas produksi.
Strategi ini begitu populer di kelompok industri yang
bersifat padat modal (intensive capital) dan penuh resiko, seperti
industri farmasi dan komputer. Berbagai kisah di balik strategi Microsoft
memasuki pasar Cina merupakan contoh penerapan strategi JV. Di bidang media
adalah hadirnya Harian Surya di Surabaya sebagai hasil JV antara Kompas dan Pos
Kota.
b. Retrenchment
Strategi penciutan dilakukan ketika organisasi mengelompok
kembali melalui reduksi biaya dan aset dalam upaya membalikkan proses penurunan
penjualan dan laba perusahaan. Strategi ini terkadang dikenal sebagai strategi turnaround
atau reorganizational. Tujuan dari strategi ini adalah untuk
memperkokoh keunggulan yang membedakan (distinctive competences) yang
dimiliki perusahaan. Pada masa strategi ini dijalankan, operasi perusahaan
berjalan dengan sumber daya (terutama dana) yang terbatas dan akan berada pada
kondisi penuh tekanan dari berbagai pihak seperti pemilik saham, pegawai, dan
media.
Strategi penciutan dapat berbentuk penjualan aset untuk
memperoleh dana tunai, pemangkasan lini produk (product line), menutup
bisnis yang kurang menguntungkan atau yang tidak termasuk core competence
perusahaan, otomasi proses, pengurangan jumlah pegawai, dan penerapan sistem
kontrol pengeluaran biaya. Pengurangan kapasitas produksi berbagai perusahaan
selama krisis moneter di Indonesia dapat diangkat sebagai contoh. Demikian pula
dengan kebijakan PHK maupun pemulangan tenaga kerja asing demi menjaga
keberlangsungan bisnis selama krisis.
Yang perlu diperhatikan adalah keputusan untuk
membangkrutkan diri bisa juga hadir sebagai salah satu bentuk penerapan
strategi penciutan ini. Oleh karenanya perlu dicermati hubungan antar
perusahaan dalam satu kelompok usaha dan kesehatan keuangan keseluruhan kelompok
usaha tersebut dalam kaitan dengan strategi pembangkrutan diri ini.
c. Divestiture
Menjual sebuah divisi usaha atau
bagian dari organisasi perusahaan disebut sebagai strategi divestasi.
Seringkali strategi divestasi dilakukan dalam rangka memperoleh dana segar bagi
kepentingan investasi atau akuisisi strategik lebih lanjut atau di bidang lain
yang lebih prospektif. Divestasi bisa pula merupakan bagian dari keseluruhan
strategi penciutan untuk membersihkan/menyingkirkan berbagai bisnis yang tidak
menguntungkan, yang membutuhkan terlalu banyak modal, atau bagian yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan aktivitas perusahaan.
Strategi divestasi menjadi populer ketika perusahaan
berupaya untuk kembali dalam core competence-nya serta mengurangi
komleksitas diversifikasinya agar lebih terkelola dengan baik. Keputusan PT HM
Sampoerna untuk melepas berbagai bisnisnya seperti perbankan, properti, dan
transportasi (dalam rangka kembali ke inti usahanya, rokok) sebelum krisis
melanda Indonesia merupakan suatu contoh strategi ini.
d. Liquidation
Strategi likuidasi dapat diidentifikasi ketika perusahaan
melakukan penjualan seluruh asetnya secara bagian per bagian untuk menghasilkan
dana tunai. Likuidasi biasanya dipahami sebagai pengakuan atas kekalahan dan
cenderung — secara emosional — sulit dijalani. Namun demikian, bisa dimengerti
bahwa lebih baik menghentikan operasi daripada mengalami kerugian yang lebih
besar. Likuidasi berbagai bank di Indonesia merupakan contoh.
e. Combination
Strategi kombinasi adalah perpaduan
antara dua atau lebih strategi yang dijalankan secara simultan. Namun demikian,
perlu diperhatikan bahwa strategi kombinasi harus dioperasikan secara sangat
hati-hati karena jika terlalu dalam dalam membawa resiko yang lebih besar.
Tidak ada perusahaan yang dapat menerapkan semua strategi secara bersamaan
meskipun semuanya ditujukan utnuk memberikan keuntungan pada perusahaan. Oleh
karenanya, di tengah sulitnya penentuan yang diambil, skala prioritas yang baik
dan tepat perlu dibangun. Hal ini dibutuhkan karena sumber daya yang dimiliki
perusahaan tentunya memiliki keterbatasan tertentu. Prioritas sangat
dibutuhkan, karena dalam penerapan strategi kombinasi akan berarti pula
terjadinya penyebaran sumber daya dan kemampuan yang mungkin akan terbaca oleh
kompetitor sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang justru
membahayakan posisi perusahaan.
Dalam suatu perusahaan yang sangat terdiversifikasi,
strategi kombinasi seringkali diterapkan ketika divisi-divisi yang ada
menerapkan strategi berbeda. Demikian juga perusahaan yang sedang berusaha
untuk mempertahankan operasinya (struggle for survival) biasanya
menerapkan strategi kombinasi dari beberapa strategi defensif secara simultan.
Merger
dan Leveraged Buyouts (LBO)
Akuisisi dan merjer merupakan dua cara yang secara umum
digunakan untuk menjalankan strategi. Suatu akuisisi terjadi ketika sebuah
perusahaan besar membeli suatu perusahaan yang (biasanya) lebih kecil. Suatu
merjer adalah tindakan ketika dua buah atau lebih perusahaan yang relatif
berukuran sama menyatukan diri dan membentuk perusahaan baru. Ketika akuisisi
atau merjer tidak diharapkan kedua belah pihak, maka tindakan tersebut disebut
sebagai pengambilalihan (takeover) atau pengambilalihan paksa (hostile
takeover).
Berbagai tindakan merjer, akuisisi, dan pengambilalihan
sering pula dijalankan sebagai strategi untuk menjadi yang paling besar dan
tangguh. Langkah ini banyak dilakukan di berbagai industri seperti perbankan,
asuransi, pertahanan, kesehatan, farmasi, makanan, penerbangan, penerbitan,
komputer, ritel, keuangan, bioteknologi, dan sebagainya. Beberapa alasan
tentang perlunya merjer adalah: untuk memperbaiki kapasitas utilisasi; untuk
memaksimalkan pemanfaatan kekuatan penjualan; mengurangi staf manajerial;
memperoleh skala ekonomi (economies of scale); untuk memperkecil
pengaruh trend musiman dalam penjualan; untuk memperoleh akses baru
kepada pemasok, distributor, kastemer, produk, dan kreditor; untuk memperoleh
teknologi baru; dan untuk strategi pembayaran pajak.
Sementara itu, LBO adalah suatu keadaan di mana para seluruh
saham perusahaan dibeli oleh pihak manajemen perusahaan atau oleh investor lain
dengan memanfaatkan dana pinjaman. Selain untuk menghindari pengambilalihan
paksa, tindakan ini dilakukan karena berbagai keputusan manajemen unit usaha
tertentu tidak sesuai dengan keseluruhan strategi korporasi atau unit tersebut
hendak dijual untuk memperoleh dana tunai, atau unit bisnis tersebut sedang
memperoleh tawaran harga yang atraktif. Sebuah LBO mengubah perusahaan menjadi
pribadi (private, tidak publik). Pada saat ini aktivitas LBO menjadi
bisnis yang menarik karena perusahaan yang telah dibeli tersebut (biasanya
setelah disehatkan) dapat dijual kembali bagian per bagian untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar, bahkan terkadang dengan harga premium. Bank yang
bergerak di sektor ini biasa disebut sebagai merchant banking.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa perusahaan yang dibeli
investor secara LBO harus lebih hati-hati. Kehati-hatian tersebut erat
kaitannya dengan peluang menjual kembali perusahaan tersebut dengan harga
premium atau menjadikan perusahaan tersebut sebagai “sapi perahan” untuk
membayar kembali utang yang digunakan untuk LBO atau untuk membiayai kebutuhan
dana segar di bidang lainnya.
EFEKTIVITAS
INDUSTRI vs POSISI KOMPETITIF
Begitu
banyak aktivitas dilakukan untuk membuat, memproduksi, menjual, dan
menyampaikan (delivery) sebuah produk atau layanan merupakan unit dasar
dari keunggulan kompetitif. Efektivitas operasional (operational
effectiveness) berarti menjalankan berbagai aktivitas tersebut dengan
lebih baik – yaitu lebih cepat atau dengan input atau kerusakan yang lebih
redah – daripada perusahaan pesaing.
Perusahaan dapat meraih beragam
keunggulan dari efektivitas operasional, sebagaimaan ditunjukkan oleh
perusahaan-perusahaan Jepang pada dekade 1970–an dan 1980-an melalui cara-cara
TQM dan perbaikan terus-menerus. Tetapi, dari sudut pandang kompetitif,
persoalan yang dihadapi oleh efektivitas operasional adalah kebiasaan-kebiasan
baik sangatlah mudah disamai dan bahkan diungguli. Sebagaimana setiap
kompetitor dalam industri tersebut mengadopsinya, tapal batas produktivitas (productivity
frontier) – yaitu nilai maksimum yang bisa disampaikan oleh perusahaan
pada suatu biaya tertentu, dengan teknologi, ketrampilan, dan teknik manajemen
terbaik yang tersedia – bergeser ke luar menurunkan biaya dan meningkatkan
nilai pada saat yang sama. Kompetisi seperti itu menghasilkan perbaikan yang
absolut dalam efektivitas operasional, tetapi relatif tidak memberikan peningkatan
kepada siapa pun. Dan semakin banyak benchmark yang dilakukan
perusahaan, maka semakin banyak titik temu kompetitif (competitive
convergence) yang terjadi. Artinya, semakin sulit membedakan antara
satu perusahaan dengan yang lainnya.
Pemposisian strategik (strategic
positioning) berusaha untuk mencapai keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan dengan cara mempertahankan apa yang khas dari perusahaan
tersebut. Artinya, menjalankan aktivitas yang berbeda dibanding para pesaing
atau menjalankan aktivitas yang sama melalui cara-cara yang berbeda. Posisi
strategik dapat berbasis pada kebutuhan kastemer, aksesibilitas kastemer, atau
keragaman produk atau layanan perusahaan. Michael A. Porter (Porter, 1996)
mengidentifikasi adanya tiga prinsip dasar yang melandasi strategic
positioning, yaitu:
1. Strategi merupakan sebuah karya dari suatu posisi yang
unik dan berharga serta melibatkan seperangkat aktivitas yang berbeda.
Pada
prinsipnya, posisi strategik muncul dari tiga sumber daya yang membedakan,
yaitu:
a. Melayani sedikit kebutuhan dari banyak kastemer.
b. Melayani banyak kebutuhan dari sedikit kastemer.
c. Melayani banyak kebutuhan dari banyak kastemer dalam
suatu pasar yang sempit.
2. Strategi mensyaratkan terjadinya pertukaran (trade-off)
dalam berkompetisi, yaitu untuk memilih apa yang tidak akan dilakukan.
Beberapa
bentuk kegiatan kompetitif tidak dapat dipadukan dengan lainnya (incompatible),
sehingga keberhasilan di suatu wilayah hanya dapat dicapai jika terjadi
pengorbanan/pengeluaran di wilayah yang lain. Trade-offs adalah sangat
penting bagi strategi, karena menciptakan kebutuhan untuk memilih (memutuskan)
dan secara sengaja membatasi apa yang dapat ditawarkan oleh perusahaan. Sebagai
contoh, sabun Neutrogena diposisikan sebagai produk kesehatan dari pada sebagai
sabun cuci tangan. Perusahaan mengatakan “tidak” pada penjualan berbasis zat
pewangi, melepas volume (penjualan) besar, dan mengorbankan efisiensi produksi.
Sebaliknya, keputusan Maytag untuk memperluas lini produknya dan membeli merek
lain menunjukkan contoh kegagalan untuk melakukan pertukaran (trade-offs).
Akibatnya keberhasilan di bidang pemasukan hanyalah hasil dari pengorbanan return
on sales.
3. Strategi melibatkan penciptaan kesesuaian (fit)
di tengah berbagai aktivitas perusahaan.
Fit merupakan sesuatu yang berkaitan dengan cara
aktivitas-aktivitas perusahaan berinteraksi dan saling memperkuat satu dengan
lainnya. Misalnya, Vanguard Group mengkaitkan seluruh aktivitasnya dengan
strategi biaya rendah; perusahaan ini mendistribusikan dana langsung kepada
para konsumen dan meminimalkan turnover portfolio. Fit mendorong
keduanya, baik keunggulan kompetitif maupun keberlanjutan. Artinya, ketika
berbagai aktivitas secara mutualisme saling memperkokoh satu dengan lainnya,
para pesaing tidak secara mudah bisa menirunya. Jika pun meniru maka harus
ditiru secara keseluruhan sistem. Ketika Continental Lite mencoba untuk
memadukan aktivitasnya dengan beberapa (tetapi tidak seluruh sistem yang saling
mengunci) aktivitas Southwest Airlines, hasil yang diperoleh adalah kehancuran.
Berdasarkan ketiga prinsip dasar di atas, dapat dijelaskan
bahwa para pegawai membutuhkan panduan tentang bagaimana memperdalam (menggali
lebih dalam) posisi strategik dari pada memperluas atau mengkompromikannya.
Tentang bagaimana memperluas keunikan perusahaan sambil memperkuat kesesuaian (fit)
di tengah berbagai aktivitasnya. Pekerjaan untuk menentukan kelompok sasaran (target
group) serta kebutuhan yang mana yang akan dilayani mensyaratkan adanya
disiplin, kemampuan untuk menetapkan batasan, dan komunikasi secara
terbuka/transparan. Manajemen Umum lebih dari sekadar pelayanan (stewardship)
fungsi-fungsi individual; dan inti sebenarnya adalah mendefinisikan serta
mengkomunikasikan keunikan posisi perusahaan, membuat trade-offs, dan
menempa fit dalam berbagai aktivitasnya. Jelas sekali bahwa strategi
dan kepemimpinan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
David, Fred R. Strategic Management, Philippines:
Prentice Hall, 1998.
Davidson, Kenneth. “Do megamergers make sense?”, Journal
of Business Strategy, 7, no. 3, Winter 1987, p. 45.
Fournier, Susan dan John Deighton. Consumer Behavior
Exercise A – F, Harvard Business School, 8 May 1997.
Pass, Christopher dan Bryan Lowes. Kamus Lengkap Bisnis,
Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997.
Porter, Michael A. “What is strategy?”, Harvard Business
Review, November-December 1996, pp. 61-78.
Porter, Michael A. Competitive Advantage: Creating and
sustaining superior performance, New York: The Free Press, 1985.
Porter, Michael A. Competitive Strategy: Techniques for
analyzing industries and competitors, New York: The Free Press, 1980.
Umar, Husein. Riset Strategi Perusahaan, Jakarta:
Gramedia, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar