Klik Gambar

Kamis, 10 Juni 2010

konflik peran adalah

PENDAHULUAN
Bank sebagai lembaga intermediary ikut memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan masyarakat pada institusi perbankan pernah
mengalami tantangan yang paling besar. Banyaknya bank yang mengalami
likuidasi menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan
menjadi turun. Akibatnya masyarakat menjadi enggan berhubungan dengan
lembaga keuangan bank dan hal ini membuat pemulihan sektor perbankan
menjadi sulit (Admin, 2007, h. 1).
Penguatan sistem perbankan perlu diikuti oleh penguatan pasar modal,
sebab pasar modal yang sehat menjadi alternatif pemenuhan sumber dana bagi
perusahaan. Bisnis perbankan memerlukan sikap hati-hati dalam menghadapi
perubahan. Produk bank sebagian besar dipengaruhi perubahan pasar. Perubahan
harga saham, perubahan nilai uang dan perubahan suku bunga harus disikapi
secara profesional. Bank perlu selalu menjaga kepercayaan masyarakat dengan
cara memelihara likuiditas yang memadai, tanpa mengorbankan kepentingan
memperoleh profit dan selalu mematuhi regulasi-regulasi yang bersentuhan
dengan bidang perbankan. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan kemampuan
manajemen dalam mengelola bank secara profesional (Hanafi, 2006, h. 385).
Salah satu perilaku penting bagi efektifitas organisasi adalah perilaku
keanggotaan organisasi, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Katz (1964, h.
132) yang mengidentifikasikan adanya tiga kategori perilaku yang penting bagi
efektifitas organisasi, yaitu : pertama individu harus masuk ke dalam dan tinggal
dalam suatu organisasi, kedua mereka harus menyelesaikan peran khusus dalam
suatu pekerjaan tertentu dan ketiga mereka harus terikat pada aktivitas yang
inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya. Kategori terakhir itulah yang
sering disebut sebagai perilaku keanggotaan organisasi.
Menurut Organ (1983, h. 654) perilaku keanggotaan organisasi merupakan
perilaku yang berdasarkan kesukarelaan yang tidak dapat dipaksakan pada batasbatas
pekerjaan dan tidak secara resmi menerima penghargaan tetapi mampu
memberikan kontribusi bagi perkembangan produktifitas dan keefektifan
organisasi. Lebih lanjut Organ menerangkan bahwa perilaku keanggotaan
organisasi dapat memberikan sumbangan peningkatan sosial dalam ruang lingkup
keseluruhan organisasi. Adanya individu yang memiliki perilaku keanggotaan
organisasi akan menguntungkan individu lain dan organisasi yang nantinya juga
akan mempengaruhi individu-individu lain didalam organisasi untuk berperilaku
prososial.
Perilaku Keanggotaan Organisasi atau yang sering disebut OCB adalah
perilaku individu yang bebas memilih, tidak diatur secara langsung atau eksplisit
oleh sistem penghargaan secara formal, dan secara bertingkat mempromosikan
fungsi organisasi yang efektif (Luthans, 2005, h.251). Robbins (2003, h. 30)
mendefinisikan perilaku keanggotaan organisasi itu sebagai perilaku pilihan, tidak
menjadi bagian dari kewajiban kerja formal karyawan, namun mendukung
berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Konsep perilaku keanggotaan organisasi menurut Spector (2006, h. 258)
adalah perilaku yang dilakukan diluar tugas pekerjaan formal dan memberikan
suatu keuntungan bagi organisasi. Berdasarkan definisi ini, dalam perilaku
keanggotaan organisasi tercakup unsur bahwa perilaku keanggotaan organisasi
artinya karyawan memberikan kontribusi yang positif terhadap organisasi melalui
perilaku diluar formal disamping tetap menjalankan tanggung jawabnya sesuai job
description.
Sementara itu Johns (1996, h. 48) mengemukakan beberapa karakteristik
dari perilaku keanggotaan organisasi yaitu perilaku sukarela yang tidak termasuk
dalam uraian jabatan, perilaku spontan tanpa saran atau perintah seseorang,
perilaku yang bersifat menolong, serta perilaku yang tidak mudah terlihat serta
dinilai melalui evaluasi kinerja.
Tokoh lain, yaitu Graham (1994, h.766) mengkonsepkan perilaku
keanggotaan organisasi sebagai konsep global yang meliputi seluruh perilaku
positif yang relevan secara organisasional dari individu sebagai anggota
organisasi. Dimana perilaku keanggotaan organisasi tersebut memiliki tiga
kategori kecenderungan yaitu ketaatan, loyalitas, dan partisipasi. Ketaatan dapat
ditunjukkan melalui respek terhadap peraturan dan instruksi, ketepatan dalam
menjalankan tugas dan mengelola sumberdaya. Sementara itu, loyalitas
merupakan penandaan terhadap dan kesetiaan pada pemimpin dan organisasi
sebagai keseluruhan, melebihi minat individual, kelompok kerja, dan departemen.
Kategori partisipasi meliputi keterlibatan aktif dan bertanggungjawab dalam
komunitas dengan berbagai cara yang legal secara hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
perilaku keanggotaan organisasi adalah perilaku karyawan yang melebihi dari
deskripsi kerja yang ditentukan, dilakukan secara sukarela, yang secara formal
tidak berada dalam sistem reward (pengimbalan), dan memberikan kontribusi
pada keefektifan organisasi.
Selain memberikan definisi di atas, Organ (dalam Luthans, 2005, h. 251)
memberikan dimensi-dimensi perilaku keanggotaan organisasi, yang juga akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu; (1) altruism yaitu perilaku membantu
karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan
operasi-operasi organisasional (misalnya, membantu rekan kerja dalam bertugas),
(2) civic virtue yaitu perilaku yang menunjukkan pastisipasi sukarela dan
dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial
alamiah (misalnya, tanpa perintah karyawan rela mewakili perusahaan untuk
program bersama), (3) conscientiousness adalah perilaku yang berisi tentang
kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standart minimum (misalnya,
berinisiatif meningkatkan kompetensinya), (4) sportsmanship berisi tentang
pantangan-pantangan membuat isu-isu yang merusak meskipun merasa jengkel
(misalnya, memahami dan berempati saat dikritik), (5) courtesy adalah perilaku
meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi
orang lain (misalnya, memiliki inisiatif untuk membantu karyawan baru dalam
menggunakan peralatan bekerja).
Perilaku keanggotaan organisasi dalam bidang pekerjaan dunia perbankan
mempunyai peranan yang sangat penting. Baik buruknya perusahan tergantung
dari pelayanan yang diberikan karyawan terhadap nasabah. BRI Palangkaraya
sebagai leader di Bank BUMN akan terus berusaha menjaga
keprofesionalitasannya dalam melayani nasabah. Tujuan perusahaan ini dapat
dicapai dengan adanya perilaku keanggotaan organisasi yang tinggi dari setiap
karyawannya, sehingga karyawan bertindak melebihi tugas umum pekerjaan
mereka, memberikan kinerja yang melampaui perkiraan, dan mampu memberikan
pelayanan yang optimal kepada nasabah.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan kepada karyawan BRI
Palangkaraya melalui metode angket dan wawancara, bentuk-bentuk perilaku
keanggotaan organisasi yang berkembang di kalangan karyawan BRI Kantor
cabang Palangkaraya seperti setiap karyawan dapat dengan segera melakukan
tugas dari rekan kerjanya yang tidak masuk; berusaha menyelesaikan pekerjaan
tepat waktu; saling berbagi informasi baru yang dapat menambah keterampilan
dan pengetahuan.
Perilaku keanggotaan organisasi yang sudah ada di dalam karyawan BRI
Palangkaraya dirasakan masih rendah. Hal ini dikarenakan perilaku yang
ditampilkan masih sesuai atau berkaitan dengan tuntutan kerja yang ada pada
perannya. Perilaku karyawan yang melebihi tuntutan kerjanya dirasakan masih
rendah terlihat dari adanya nasabah atau masyarakat yang mengeluhkan pelayanan
karyawan BRI Palangkaraya yang kurang resposif dan kurang sigap dalam
menangani permasalahan nasabah, kemampuan kerja karyawan yang masih
kurang cakap dalam menghadapi keadaan darurat, kurangnya inisiatif karyawan
mengikuti training, keluhan dari beberapa karyawan bagian operasional yang
mengindikasikan adanya keberatan untuk kerja lembur, serta kurangnya inovasi
karyawan marketing dalam melahirkan ide atau program-program pelayanan
perbankan yang dapat menjangkau dan mendekatkan nasabah lebih dekat lagi
pada BRI Palangkaraya. Kondisi ini bila terus dibiarkan akan melemahkan daya
saing BRI Palangkaraya dalam menghadapi para kompetitor yang semakin
menggeliat.
Pelayanan perbankan seharusnya menjadi lebih responsif terhadap
kepentingan nasabah yang berorientasi kepuasan nasabah dengan ciri-ciri: lebih
memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kualitas pelayanan kepada
nasabah, lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan nasabah sehingga nasabah
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas layanan yang
telah dibangun bersama, terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dari sasaran
yang berorientasi pada hasil sesuai dengan masukan yang digunakan, memberi
akses kepada nasabah dan responsif terhadap pendapat dari nasabah tentang
pelayanan yang diterimanya, lebih mengutamakan antisipasi terhadap
permasalahan pelayanan. Dengan demikian perilaku keanggotaan organisasi
merupakan hal yang penting bagi BRI Palangkaraya, karena adanya perilaku
keanggotaan organisasi yang tinggi diharapkan akan berdampak baik bagi
pelayanan terhadap nasabah. Dalam hal ini karyawan diharapkan lebih cakap,
lebih responsif, lebih sigap, ramah terhadap nasabah dalam menjalankan tugas dan
tetap bertahan di perusahaan serta mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan
perusahaan.
Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perilaku keanggotaan
organisasi antara lain yang dilakukan Podsakoff, et al. (1997, h. 262) tentang
hubungan perilaku keanggotaan organisasi dengan kuantitas dan kualitas performa
tim kerja pada 218 orang yang bekerja di 40 kru mesin sebuah pabrik kertas di
Northeastern United States membuktikan bahwa perilaku keanggotaan organisasi
berdampak pada kuantitas dan kualitas performance. Hasilnya mengindikasikan
bahwa karyawan yang memiliki perilaku menolong dan sikap sportif akan
menghasilkan produktifitas kerja yang optimal baik secara kuantitas maupun
kualitas. Podsakoff menyimpulkan dampak perilaku keanggotaan organisasi
dalam perusahaan berpengaruh pada meningkatkan produktifitas (rekan kerja,
manajer), menghemat sumber daya, menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi
kegiatan-kegiatan kelompok kerja, meningkatkan stabilitas kinerja organisasi, dan
membantu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Perilaku menolong dan sikap sportif merupakan sebagian dari dimensi
perilaku keanggotaan organisasi yang tentunya diharapkan BRI ada pada setiap
karyawannya. Karyawan BRI Palangkaraya apabila memiliki perilaku menolong
dan sikap sportif tentu saja akan memberikan input yang positif bagi rekan
kerjanya yang membuat pekerjaan itu cepat diselesaikan dengan baik. Perilaku
menolong dan sikap sportif juga akan semakin mempererat kesatuan karyawan
sebagai tim kerja dalam menampilkan pelayanan yang sebaik mungkin bagi
nasabah.
Perilaku keanggotaan organisasi sebagai perilaku, maka kemunculannya
dalam diri karyawan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor penentu.
Smither (1998, h. 398) menyatakan ada empat faktor penyebab perilaku
keanggotaan organisasi dapat terjadi yaitu ketika karyawan merasa puas dengan
pekerjaannya, menerima perlakuan yang adil dari perusahaan, memiliki komitmen
afektif yang tinggi, dan memiliki hubungan yang baik dengan atasan atau
supervisornya. Empat faktor penyebab tersebut akan mendorong karyawan senang
untuk menunjukkan perilaku melebihi kewajiban kerja dan suka menolong rekan
kerja juga organisasi.
Perilaku keanggotaan organisasi sangat berpengaruh dalam kesuksesan
suatu organisasi, khususnya perbankan yang bergerak dalam pelayanan jasa. Hal
ini bisa dilihat dari faktor-faktor perilaku keanggotaan organisasi yang
mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, keadilan, dan
dukungan pimpinan. Pada kenyataannya, di lapangan karyawan justru sering
menghadapi gesekan-gesekan yang dapat menyebabkan konflik pada karyawan
saat menjalankan perannya. Karyawan yang menduduki posisi tertentu selalu
berhubungan dengan banyak pihak untuk kepentingan yang sama maupun
berbeda. Setiap pihak (yaitu ; pihak atasan, rekan kerja, pihak bawahan, maupun
nasabah) tersebut umumnya memiliki harapan-harapan yang berbeda terhadap
satu posisi yang sama, sehingga karyawan yang menduduki posisi yang
bersangkutan menghadapi kerumitan peranan karena peranan tertentu bisa
memuaskan satu harapan dari pihak tertentu dan sebaliknya tidak memuaskan
harapan pihak yang lain (Suprihanto, et al., 2003, h.129).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Filley dan House (dalam Wexley dan
Yukl, 2005, h. 173) menunjukkan bahwa akibat-akibat konflik peran akan
menimbulkan kepuasan kerja yang rendah dan berpengaruh buruk terhadap
pelaksanaan kerja individu. Suranta (1998, h. 266) menjelaskan bahwa
konsekuensi konflik peran yang semakin meningkat akan mengakibatkan
meningkatnya ketegangan hubungan kerja, mengurangi kepuasan kerja, dan
kecenderungan meninggalkan organisasi. Konflik peran yang tidak dapat
diselesaikan bisa menimbulkan frustasi dan kepuasan kerja yang rendah. Akan
tetapi konflik peran yang terselesaikan dengan baik menjadi satu sumber kepuasan
kerja karyawan. Menurut Hodge, et. al., (1988, h. 104), karyawan yang
memperoleh kepuasan pribadi pada pekerjaannya akan mempunyai minat dan
gembira dalam menjalankan pekerjaannya yang berakibat pada keterlibatannya
dalam usahanya yang semaksimal mungkin dalam perilakunya untuk perusahaan
tempatnya bekerja. Kepuasan kerja tersebut memotivasi para karyawan untuk
bekerja secara efektif dengan menunjukkan hasil kerja yang melebihi sekedar
persyaratan minimal.
Bagi perusahaan, adanya konflik yang dialami karyawan bisa menjadi
sesuatu yang merugikan. Konflik yang tidak ditangani dengan baik akan menjadi
masalah yang berkepanjangan dan akan mempengaruhi dalam pencapaian harapan
kerja yang ditujukan perusahaan kepada karyawan. Dampak perilaku dari konflik
peran tersebut dihasilkan dari persepsi karyawan. Oleh karena itu, penelitian yang
berkaitan dengan perilaku keanggotaan organisasi dan persepsi karyawan terhadap
konflik peran akan sangat menarik untuk diteliti.
Konflik peran terjadi ketika ada berbagai tuntutan dari banyak sumber
yang menyebabkan karyawan menjadi kesulitan dalam menentukan tuntutan apa
yang harus dipenuhi tanpa membuat tuntutan lain diabaikan (Rizzo & Lirtzman,
1970, h. 150-163). Kahn, et al. (dalam Muchinsky. 1993, h. 281) mengemukakan
bahwa konflik peran terjadi ketika dua atau lebih tuntutan terjadi secara
bersamaan dan saling bertentangan satu dengan yang lain sehingga menyebabkan
kesulitan pada karyawan.
Kreitner dan Kinicki (2001, h. 386-388) menyatakan bahwa ketika
individu merasakan adanya tuntutan yang saling bertentangan dari orang-orang di
sekitar maka individu tersebut sedang mengalami konflik peran. Jadi konflik
peran adalah adanya perbedaan atau ketidaksesuaian pengharapan dari anggotaanggota
kumpulan peran (role set) yang menimbulkan konflik terhadap orang
yang dituju (focal person) saat menjalankan perannya. Konflik peran juga dialami
individu ketika nilai-nilai internal, etika, atau standar dirinya bertabrakan dengan
tuntutan yang lainnya.
Konflik peran terjadi ketika seseorang menghadapi ketidakkonsistenan
antara peran yang diterima dengan perilaku peran. Konflik peran tidak sama
dengan ambiguitas peran karena peran yang diterima itu jelas dan spesifik
(Cherrington, 1994, h. 373). Senada dengan pernyataan Cherrington, Ivancevich,
et al. (2007, h. 298) menyatakan konflik muncul ketika seseorang menerima pesan
yang tidak sebanding berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai.
Konflik pada pemegang peran dapat terjadi ketika peran dengan beban
kerja berlebih, peran yang kekurangan beban kerja dan rumusan berlebih
(Barners, 1984, h. 120). Luthans (2005, h. 524) menyatakan bahwa konflik peran
terjadi jika karyawan atau anggota tim: (1) diminta untuk melakukan tugas yang
sulit atau (2) diharuskan melakukan tugas yang bertentangan dengan nilai pribadi.
Pada kelompok, konflik peran meningkat, khususnya jika di dalam kelompok
terdapat perilaku nonetis atau antisosial serta jika anggota kelompok menekankan
norma-norma tertentu, sementara pemimpin dan penguasa organisasi formal
menekankan norma lainnya.
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian dari konflik peran adalah
konflik yang muncul dalam diri karyawan ketika perilaku peran yang
ditampilkannya tidak sesuai dengan berbagai pengharapan peran yang ia terima
dari anggota kumpulan perannya (yaitu : pihak atasan, rekan kerja, dan pihak
bawahan).
Persepsi karyawan terhadap konflik peran akan mempengaruhi sikap
karyawan dalam menanggapi konflik peran yang ia hadapi. Walgito (2002, h.69-
70) memberikan pengertian persepsi adalah proses mengolah informasi yang
diperoleh melalui penginderaan kemudian diorganisasi dan diinterpretasikan,
membentuk aktifitas yang integrated dalam diri individu yaitu melibatkan
kemampuan berfikir, perasaan dan pengalaman-pengalaman.
Menurut Daffidof (dalam Walgito, 2001, h.54) dengan persepsi, individu
dapat menyadari, mengerti tentang lingkungan sekitar, dan mengerti tentang
keadaan diri. Jadi, persepsi yang merupakan aktivitas ter-integrated, maka seluruh
apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan
berpikir, kerangka acuan akan ikut berperan dalam persepsi (Walgito, 2001, h.
54). Hal ini sebagai petunjuk bahwa persepsi melibatkan aspek perasaan atau
afeksi serta kemampuan berpikir atau kognitif.
Kast, et al. (1995, h. 395) menyatakan persepsi sebagai dasar untuk
memahami perilaku, karena ia merupakan alat dengan mana rangsangan (stimuli)
mempengaruhi seseorang atau suatu organisme. Persepsi karyawan yang positif
terhadap konflik peran yang dialami akan menghasilkan perilaku-perilaku yang
konstruktif. Kebalikannya yaitu persepsi karyawan yang negatif akan
menghasikan perilaku-perilaku yang destruktif, dimana perilaku ini selain
merugikan karyawan juga akan merugikan perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian persepsi karyawan terhadap
konflik peran adalah penafsiran karyawan terhadap perbedaan ekspektasi peran
dari role set (atasan, rekan kerja, bawahan, keluarga) yang ditujukan padanya,
sehingga mempengaruhi perilaku atau respon yang diambil karyawan.
Aspek-aspek persepsi karyawan terhadap konflik peran berdasarkan pada
aspek-aspek persepsi dari Walgito dan Davidoff (2001, h. 54) yang selanjutnya
dikaitkan dengan jenis-jenis konflik peran dari Katz dan Kahn (dalam Winardi,
2007, h. 198-201) meliputi (1) aspek kognisi dari intra – sender conflict meliputi
interpretasi karyawan terhadap harapan-harapan peran yang saling berbenturan
dari seorang pengirim peran (yaitu : pihak atasan, rekan kerja, pihak bawahan);
(2) aspek kognisi dari inter – sender conflict meliputi interpretasi karyawan
terhadap harapan-harapan peran yang tidak selaras atau bertentangan dari berbagai
anggota role-set (yaitu : pihak atasan, rekan kerja, pihak bawahan); (3) aspek
kognisi dari inter – role conflict meliputi interpretasi karyawan terhadap tuntutantuntutan
yang saling berbeda antara dua peran atau lebih yang harus
dimainkannya dalam waktu bersamaaan; (4) aspek kognisi dari person – role
conflict meliputi interpretasi karyawan terhadap harapan peran yang bertentangan
dengan nilai-nilai, kode etik ataupun tidak sesuai dengan kemampuan dirinya; (5)
aspek afeksi dari intra – sender conflict meliputi kesan dan perasaaan karyawan
terhadap harapan-harapan peran yang saling berbenturan dari seorang pengirim
peran (yaitu : pihak atasan, rekan kerja, pihak bawahan); (6) aspek afeksi dari
inter – sender conflict meliputi kesan dan perasaaan karyawan terhadap harapanharapan
peran yang tidak selaras atau bertentangan dari berbagai anggota role-set
(yaitu : pihak atasan, rekan kerja, pihak bawahan); (7) aspek afeksi dari inter –
role conflict meliputi kesan dan perasaaan karyawan terhadap tuntutan-tuntutan
yang saling berbeda antara dua peran atau lebih yang harus dimainkannya dalam
waktu bersamaaan; (8) aspek afeksi dari person – role conflict meliputi kesan dan
perasaaan karyawan terhadap harapan peran yang bertentangan dengan nilai-nilai,
kode etik ataupun tidak sesuai dengan kemampuan dirinya.
Manusia dengan sifat dinamisnya, selalu ingin memperoleh sesuatu yang
lebih derajatnya, termasuk dalam hal pekerjaan. Harapan yang dimiliki dalam
pekerjaan dimasa lalu dan sekarang adalah memperoleh jaminan rasa aman dalam
menghadapi masa depan dari organisasi (Nawawi, 2000, h.35). Kondisi ini
didukung dengan banyak proses yang terjadi dalam diri individu, yang satu
diantaranya adalah proses persepsi. Hasil dari penilaian tadi diharapkan akan
memunculkan kebutuhan yang memerlukan pemenuhan sehingga dalam merespon
terhadap stimulus yang dikenainya akan dipersepsikan secara berbeda-beda oleh
masing-masing individu. Persepsi tersebut merupakan faktor yang menentukan
terbentuknya sikap terhadap sesuatu penilaian tertentu (Rasimin, 1992, h. 8).
Persepsi seseorang terhadap suatu objek dapat berbeda-beda. Demikian
pula persepsi seorang karyawan terhadap konflik peran dapat berbeda-beda.
Apabila konflik peran dirasakan sebagai sebuah proses pembelajaran ditengah
pertentangan maka karyawan akan mempunyai persepsi yang positif terhadap
konfllik peran. Namun, apabila karyawan menganggap konflik peran tersebut
sebagai suatu kesulitan yang akan mengganggunya dalam bekerja sehingga
karyawan merasa tertekan dan tidak produktif dalam bekerja maka konflik peran
tersebut akan dipersepsi negatif.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada karyawan BRI Kantor
Cabang Palangkaraya, banyak yang mengeluhkan adanya ketegangan dalam diri
mereka saat beban kerja yang terlalu berat, adanya rasa bersalah ketika tidak dapat
mengerjakan tugas dengan optimal, mendapatkan keluhan terhadap pelayanan
yang dirasakannya sudah maksimal ia lakukan, adanya kekeliruan menjalankan
instruksi, kelelahan dengan tuntutan lembur,dan tuntutan kerja dari perusahaan
yang dirasakan terlalu tinggi bagi karyawan. Adanya kerumitan saat bekerja dan
keluhan atas kinerjanya yang tidak sesuai dengan harapan role-set merupakan
indikasi dari konflik peran yang dialami karyawan BRI Palangkaraya.
Penelitian Organ (1987) dan Moorman (1993) menemukan bahwa
kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh keadaan emosional yang positif
sebagai hasil dari penilaian individu terhadap suatu pengalaman kerja, dimana
karyawan yang puas biasanya akan menunjukkan perilaku citizenship seperti
membantu rekan kerja dan menjadi lebih kooperatif (Luthans, 1995, h. 254). Jadi
konflik peran seharusnya dipersepsikan positif supaya meningkatkan kepuasan
kerja yang bisa mendorong munculnya perilaku keanggotaan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik peran tidak
bisa dihindari karena konflik merupakan hasil yang alami dari interaksi kelompok
kerja orang (kerja sama). Karyawan yang berada dalam suatu tim pasti memiliki
peran. Didalam memainkan perannya karyawan menghadapi setiap orang yang
mempunyai pengharapan yang berlainan dari adanya bagaimana proses bekerja
dan hasil apa dari proses tersebut. Selain itu, perusahaan juga mengharapkan
karyawan yang memiliki nilai lebih. BRI Palangkaraya yang berhubungan
langsung dengan masyarakat membutuhkan karyawan dengan perilaku
keanggotaan organisasi yang tinggi, sehingga karyawan bertindak melebihi tugas
umum pekerjaan mereka, yang akan memberikan kinerja yang melampaui
perkiraan.
Pengharapan-pengharapan yang tidak dapat terpenuhi memunculkan
konflik dalam diri karyawan. Persepsi karyawan terhadap konflik peran akan
memberikan dampak pada perilaku organisasi mereka. Karyawan yang
memandang konflik peran secara negatif akan melahirkan dampak destruktif yaitu
adanya ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan lebih tinggi, menjadikan
karyawan tidak produktif, kepuasan kerja rendah, sehingga membuat karyawan
sulit untuk menampilkan perilaku yang memenuhi harapan perannya.
Persepsi yang positif terhadap konflik peran akan memberikan dampak
konstruktif. Respon seperti ini pada umumnya menghasilkan konsekuensi
perilaku, kognitif dan psikologis yang lebih baik, memberikan sumbangan yang
cukup untuk membuat seorang karyawan menjadi kritis dan kreatif (Muchlas,
2005, h. 466). Konflik peran yang ditanggapi dengan positif akan memberikan
harapan bagi karyawan bahwa setelah berhasil menyelesaikan konflik peran
dengan baik maka akan menjadikannya karyawan lebih baik dari sebelumnya
sehingga akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja yang
dimiliki karyawan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
perilaku keangotaan organisasi dari dalam diri karyawan. Organ (dalam Spector,
2006, h. 259) menyatakan bahwa pekerja yang puas akan mempunyai keinginan
lebih untuk memberikan suatu balasan bagi organisasinya dengan menampilkan
perilaku keanggotaan organisasi untuk kemajuan dirinya sebagai karyawan,
kemajuan tim kerjanya, dan kemajuan perusahaan dalam melayani nasabah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara karyawan
mempersepsikan konflik peran dapat memiliki pengaruh penting terhadap efeknya
pada perilaku kerjanya, sehingga dapat dikatakan sesungguhnya persepsi itulah
yang menjadi dasar keputusan seseorang dalam mengembangkan perilaku
kerjanya di dalam organisasi. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menguji apakah
ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap konflik peran dengan perilaku
keanggotaan organisasi pada karyawan BRI Kantor Cabang Palangkaraya?
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perilaku Keanggotaan Organisasi
Perilaku keanggotaan organisasi adalah perilaku karyawan yang
melebihi dari deskripsi kerja yang ditentukan, dilakukan secara sukarela,
yang secara formal tidak berada dalam sistem reward (pengimbalan), dan
memberi kontribusi pada keefektifan organisasi.
Perilaku keanggotaan organisasi diungkap menggunakan Skala
perilaku keanggotaan organisasi yang disusun berdasarkan dimensidimensi
perilaku keanggotaan organisasi menurut pendapat Organ (dalam
Greenberg & Baron, 2003, h. 409 ) yaitu: altruism, conscientiousness,
sportsmanship, courtesy, dan civic virtue.
2. Persepsi Karyawan terhadap Konflik Peran
Persepsi karyawan terhadap konflik peran adalah penafsiran
karyawan terhadap perbedaan ekspektasi peran dari role set (atasan, rekan
kerja, bawahan, keluarga) yang ditujukan padanya, sehingga
mempengaruhi perilaku atau respon yang diambil karyawan.
Positif atau negatif persepsi karyawan terhadap konflik peran dapat
diketahui berdasarkan aspek persepsi yang meliputi aspek kognisi dan
aspek afeksi yang dikaitkan dengan jenis-jenis konflik peran yang
disimpulkan berdasarkan pendapat Katz & Kahn (dalam Winardi, 2007,
h.198-201) yaitu : intra-sender conflict, inter-sender conflict, inter-role
conflict, dan person-role conflict.
Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah 120 karyawan PT BRI Kantor Cabang
Palangkaraya. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik
purposive non random sampling.
HASIL PENELITIAN
Uji Hipotesis
Analisis regresi sederhana menunjukkan seberapa besar hubungan antara
persepsi karyawan terhadap konflik peran dengan perilaku keanggotaan organisasi
melalui rx2y = 0,247dengan p = 0,007 (p<0,05). Tanda positif menunjukkan arah
hubungan positif yang berarti bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap
konflik peran maka perilaku keanggotaan organisasi karyawan BRI Kantor
Cabang Palangkaraya semakin tinggi.
Deskripsi Subjek Penelitian
1) Variabel Perilaku Keanggotaan Organisasi
Kondisi Empiris Perilaku Keanggotaan Organisasi
SR R S T ST
- -
19,17 %
23 karyawan
56,67 %
68 karyawan
24,16 %
29 karyawan
49 63 77 91
2) Variabel Persepsi Karyawan terhadap Konflik Peran
Kondisi Empiris Persepsi Karyawan terhadap Konflik Peran
SN N S P SP
0,83 %
1 karyawan
0,83 %
1 karyawan
10,83 %
13 karyawan
64,17 %
77 karyawan
23,34 %
28 karyawan
50,75 65,25 79,75 94,25
PEMBAHASAN
Adanya penyelesaian konflik yang dimulai dengan persepsi yang positif
akan memberikan dampak yang positif juga bagi perilaku karyawan dalam
bekerja. Konflik bagaimanapun sulitnya dapat diselesaikan oleh para karyawan
dengan melihat persoalan serta mendudukkannya pada proporsi yang wajar,
menyadari hambatan serta kendala yang berada di luar kemampuan kita,
memperhatikan peraturan permainan yang kita setujui bersama, serta
mengusahakan pelaksanaan secara konsekuen keputusan yang telah diambil dan
telah kita setujui bersama. Konflik dapat mengarahkan ke inovasi dan perubahan,
dapat menggerakkan karyawan-karyawan untuk melaksanakan kegiatan,
mengembangkan proteksi bagi pihak-pihak yang lemah dalam organisasi, dan
merupakan elemen penting dalam analisis sitem organisasi. Faktor-faktor tersebut
menunjukkan bahwa konflik peran dapat dikelola, agar berguna bukan
menghambat, untuk pencapaian tujuan dalam organisasi modern (Sukartono &
Handoko, 2001, h. 245). Konflik peran yang dipersepsikan positif dapat
memberikan tantangan kepada karyawan untuk semakin optimal dalam bekerja.
Tantangan tersebut menghasilkan kegairahan karyawan dalam bekerja. Suasana
hati yang positif ini memicu produktifitas kerja karyawan yang akan berkontribusi
bagi keefektifan perusahaan melayani nasabah. Partisipasi karyawan yang
mendapatkan arahan serta dukungan dari atasan juga semakin mendukung
terlahirnya perilaku keanggotaan organisasi dari karyawan.
Pimpinan yang baru di BRI Kantor Cabang Palangkaraya dirasakan sangat
tegas dan menekankan agar karyawan dapat selalu meningkatkan ketrampilan
kerja dan memberikan inovasi-inovasi yang dapat memajukan perusahaan.
Pimpinan selalu mendengungkan kepada karyawan bahwa karyawan yang tidak
berinovasi akan menyebabkan kelesuan diri yang juganya akan berdampak pada
perusahaan. Gaya pimpinan yang baru menginspirasikan dan memotivasi
karyawan untuk berprestasi melampaui harapan. Nilai-nilai ini menjadikan
karyawan untuk menghadapi konflik peran dengan persepsi yang positif supaya
tidak menghalangi karyawan untuk bekerja secara efektif dan mengembangkan
ketrampilannya. Karyawan melihat konflik peran sebagai suatu hal yang wajar
saat bekerja dengan tim dalam melayani nasabah. Oleh karena itu karyawan lebih
memilih untuk segera menangani konflik daripada membiarkannya berlarut-larut.
Hasil interview menjelaskan bahwa karyawan sangat menghidupi moto
perusahaan untuk melayani nasabah dengan setulus hati dan good coorporate
governance untuk mencegah atau meminimalisir konflik atau permasalahan yang
ada. Penelitian yang dilakukan Behfar, et al. (2008, h. 184) membuktikan bahwa
resolusi konflik yang tepat menghasilkan performa kerja yang tinggi dan kepuasan
kerja yang tinggi. Netmeyer (1997, h. 85-98) menjelaskan adanya anteseden kunci
dan konsekuensi antara konflik peran, kinerja pelayanan pada pelanggan dan
stress kerja. Dalam penelitian mereka, tingkat stres kerja karyawan menjadi
prediktor utama terhadap in-role performance supervisor dan extra-role
performance karyawan dan pelanggan secara langsung. Para peneliti telah
melakukan observasi, jika kelompok-kelompok menganalisis berbagai keputusan
yang telah dibuat oleh perseorangan dalam kelompok, perbaikan rata-rata diantara
kelompok dengan konflik yang tinggi adalah 73% lebih besar daripada diantara
kelompok-kelompok dengan kondisi konflik yang rendah (Muchlas, 2005, h.
478). Jadi persepsi yang positif menghasilkan penilaian yang baik dimana konflik
peran bukanlah sebagai ”momok” yang menakutkan, melainkan konflik dinilai
sebagai proses pembelajaran yang memberikan perubahan karyawan menuju pada
peningkatan kualitas pengambilan keputusan, menstimulasi kreativitas dan
inovasi, serta kinerja yang cenderung lebih meningkat.
Penelitian Organ (1987) dan Moorman (1993) menemukan bahwa
kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh keadaan emosional yang positif
sebagai hasil dari penilaian individu terhadap suatu pengalaman kerja, dimana
karyawan yang puas biasanya akan menunjukkan perilaku keanggotaan organisasi
seperti membantu rekan kerja dan menjadi lebih kooperatif (Luthans, 1995, h.
254).
Organ (1988) dikutip oleh Smither (1998, h. 397) menjelaskan pengertian
perilaku keanggotaan organisasi sebagai perilaku individu yang bebas, tidak
berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa
meningkatkan fungsi efektif organisasi. Greenberg dan Baron menegaskan bahwa
perilaku keanggotaan organisasi berkontribusi baik untuk perusahaan dan
dirinya.Secara umum ada tiga komponen utama perilaku keanggotaan organisasi
yaitu; perilaku yang lebih dari ketentuan formal atau deskripsi pekerjaan yang
telah ditentukan, bersifat sukarela, dan tindakan tersebut tidak dihargai dengan
imbalan formal oleh organisasi (Greenberg dan Baron 2003, h. 408).
Karyawan yang mempunyai perilaku keanggotaan organisasi yang tinggi
ditandai dengan adanya perilaku positif yang ditunjukkan karyawan, baik terhadap
perusahaan maupun rekan kerjanya dan berhasil menciptakan iklim kerja yang
mampu menumbuhkan dan mendorong motivasi karyawan untuk memberikan
kinerja terbaiknya dan secara tidak langsung kondisi ini akan meningkatkan
fungsi efektif organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, perilaku keanggotaan organisasi yang
ditampilkan karyawan BRI Kantor Cabang Palangkaraya yaitu kerelaan
memberikan bantuan kepada orang lain, melakukan pekerjaan dengan senang hati,
peningkatan disiplin diri, tidak menunda melaksanakan pekerjaan, dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, serta melaksanakan tugas dengan
penuh tanggung jawab. Faktor yang mendorong terjadinya perilaku keanggotaan
organisasi yang ditampilkan karyawan BRI Palangkaraya ini dipengaruhi oleh
faktor kepuasan kerja yang dihasilkan dari persepsi positif karyawan terhadap
konflik peran.
Konflik peran yang dipersepsikan secara positif mendorong karyawan
untuk dapat menangani konflik dengan menghasilkan resolusi konflik yang tepat
sehingga bisa berdampak pada performa kerja karyawan yang menjadi kritis
terhadap intern organisasi, tanggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat
beradaptasi. Dukungan dari atasan juga menguatkan karyawan untuk dapat tetap
produktif dalam bekerja meskipun sedang mengalami konflik peran. Resolusi
konflik dan dukungan yang diterima dari atasan mendorong kemunculan dampak
kosntruktif dari konflik peran yang dihadapinya. Hal ini senada dengan Du Brin
(1984, h. 356) yang mengemukakan dampak positif konflik antara lain seperti
menimbulkan perubahan secara konstruktif; segala daya dan motivasi tertuju pada
pencapaian tujuan; merangsang inovasi dan meningkatkan keeratan kelompok;
menggantikan tujuan yang tidak relevan; manajemen konflik menguntungkan
organisasi; hubungan antar pribadi dan antar kelompok mendorong ke arah
peningkatan kesehatan organisasi; dan konflik dapat mengurangi ketegangan
dalam bekerja.
Adanya dampak konstruktif tersebut menjadi wujud prestasi kerja karyawan yang
memberikan kepuasan kerja pada karyawan. Hasibuan (2001, h. 202) menyatakan
bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi
kerja. Disamping itu, kualitas perasaan seseorang terhadap pekerjaannya
mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan erat dengan
produktifitas kerja dan efektifitas organisasi. Kepuasan pribadi pada tugasnya
mengarahkan karyawan untuk keterlibatannya dalam berusaha semaksimal
mungkin untuk perusahaan dengan menampilkan perilaku keanggotaan organisasi
yang tinggi.
SIMPULAN
Ada hubungan positif antara persepsi terhadap konflik peran dengan
perilaku keanggotaan organisasi pada karyawan BRI Kantor Cabang
Palangkaraya. Semakin baik persepsi terhadap konflik peran pada karyawan maka
semakin tinggi pula perilaku keanggotaan organisasi karyawan. Sumbangan
efektif persepsi terhadap konflik peran terhadap perilaku keanggotaan organisasi
pada karyawan BRI Kantor Cabang Palangkaraya sebesar 6,1 %.
SARAN
1. Bagi karyawan BRI Kantor Cabang Palangkaraya yang berada dalam kategori
tinggi diharapkan dapat mempertahankan perilaku keanggotaan organisasi,
diantaranya dengan selalu berusaha memiliki suasana hati (mood) positif yang
memberikan konsekuensi kerelaan memberikan bantuan kepada orang lain,
melakukan pekerjaan dengan senang hati, bersikap sportif, meningkatkan
inisiatif dalam bekerja, dan berpartisipasi aktif dalam perusahaan. Sedangkan
bagi karyawan BRI Kantor Cabang Palangkaraya yang memiliki perilaku
keanggotaan organisasi dalam kategori sedang diharapkan untuk mampu
meningkatkan inisiatif untuk memberikan bantuan kepada rekan kerja dalam
satu tim kerja.
2. Pihak BRI Kantor Cabang Palangkaraya mempertahankan iklim kerja yang
kondusif yaitu dengan menjaga perlakuan adil kepada karyawan dalam
pembagian jobdescription, reward, dan kesempatan pengembangan karir
karyawan, serta selalu memberikan dukungan yang positif dari setiap atasan
kepada bawahan. Dengan demikian, karyawan akan merasa nyaman dan
percaya pada perusahaan sehingga karyawan dapat memberikan balasan
kepada perusahaan dengan menampilkan perilaku organisasi yang tinggi untuk
meningkatkan produktifitas BRI Kantor Cabang Palangkaraya dalam melayani
nasabah.
3. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian terhadap variabel
perilaku keanggotaan organisasi dapat melakukan penelitian dengan meneliti
variabel-variabel lain yang turut berperan dalam memicu perilaku
keanggotaan organisasi karyawan, antara lain: gaya kepemimpinan, masa
kerja, tingkat pendidikan, penempatan yang tepat, usia, dan jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA
Akhirudin, S., & Aini, I. N. Q. 2005. Pengaruh Perilaku Kepemimpinan
Transformasional terhadap OCB dengan Kepercayaan pada Pemimpin
sebagai Verbal Pemediasi. Fokus Manajerial, 3 (1) : 52-64.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cherrington, David J. 1994. Organizational Behavior : The Management of
Individual and Organizational Performance. Printed in The United States of
America: Allyin & Bacon.

0 komentar:

Mau Presentasi Sehebat Trainer ?

Mau Presentasi Sehebat Trainer ?
Info detail hubungi WA 085852316552
Ringga Arie Suryadi. Diberdayakan oleh Blogger.