Diposting pada February 23, 2009 | Awan: Adventure | oleh : sunu wibirama.
Oleh : Sunu Wibirama (Postgraduate student, KMITL)
“Dakwah Islam senantiasa bergema di
seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang tidak mengenal batas dan
sekat-sekat nasionalisme. Pun di sebuah negeri yang mayoritas
penduduknya bukanlah pemeluk agama Islam, Thailand.”
Gambar 1. Masjid Indonesia di Bangkok
Thailand dikenal sebagai sebuah negara
yang pandai menjual potensi pariwisata sekaligus sebagai salah satu
negara agraris yang cukup maju di Asia Tenggara. Mayoritas penduduk
Thailand adalah bangsa Siam, Tionghoa dan sebagian kecil bangsa Melayu.
Jumlah kaum muslimin di Thailand memang tidak lebih dari 10% dari total
65 juta penduduk, namun Islam menjadi agama mayoritas kedua setelah
Buddha. Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian
selatan Thailand, seperti di propinsi Pha Nga, Songkhla, Narathiwat dan
sekitarnya yang dalam sejarahnya adalah bagian dari Daulah Islamiyyah
Pattani. Kultur melayu sangat terasa di daerah selatan Thailand,
khususnya daerah teluk Andaman dan beberapa daerah yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Bahkan beberapa nama daerah berasal dari
bahasa Melayu, seperti Phuket yang berasal dari kata “bukit” dan Trang
yang berasal dari kata “terang”.
Gambar 2. Peta Wilayah Pattani Darussalam
Islam masuk ke Thailand sejak
pertengahan abad ke-19. Proses masuknya Islam di Thailand dimulai sejak
kerajaan Siam mengakuisisi kerajaan Pattani Raya (atau lebih dikenal
oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani Darussalam). Pattani berasal
dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan atau cerdik karena di
tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal.
Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi
pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa
kitab Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah
muslim dan pesantren di Thailand Selatan.
Perkembangan Islam di Thailand semakin
pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan Indonesia masuk ke
Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu kerajaan
Thailand membangun beberapa kanal dan sistem perairan di Krung Theyp
Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok). Beberapa
keluarga muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid
sebagai sarana ibadah. Kami sempat berkunjung ke Masjid Indonesia,
sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia dan
komunitas muslim asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik
Almarhum Haji Saleh, seorang warga Indonesia yang bekerja di Bangkok.
Gambar 3. Masjid Jawa di Bangkok
Masjid Jawa adalah masjid lain yang juga
didirikan oleh komunitas warga muslim Indonesia di Thailand. Sesuai
dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga Indonesia suku Jawa yang
bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para pendiri masjid ini
sudah tak lagi mampu berbahasa Indonesia. Beberapa warga Thai keturunan
pendiri masjid ini berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat
menceritakan asal muasal berdirinya Masjid Jawa ini. Masjid Indonesia
dan Masjid Jawa hanyalah sebagian dari lima puluh-an masjid lain yang
tersebar di seluruh penjuru Bangkok.
Gambar 4. Kegiatan di Islamic Center Ramkamhaeng
Pusat dakwah Islam terbesar di Bangkok
terletak di Islamic Center Ramkamhaeng. Hampir semua aktivitas
keislaman, mulai dari pengajian, layanan pernikahan, sampai dengan pasar
makanan halal bisa ditemukan di sini. Islamic Center Ramkamhaeng
berjarak sekitar 2 KM dari kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di
jalan Petchburi. Bahkan beberapa buku dan VCD Islami berbahasa Indonesia
dijual di sini. Kami bisa dengan mudah menjumpai buku pelajaran Iqro’
dan beberapa CD film-film Islam produksi Indonesia di sini. Setiap hari
Jum’at, pasar makanan halal dan barang-barang Islami digelar mulai jam
10 pagi sampai menjelang sholat asar. Selain itu beberapa kajian Islam,
baik yang diadakan oleh warga muslim Thailand maupun warga Indonesia
diadakan setiap hari Sabtu dan Ahad di tempat ini.
Gambar 5. Pesantren Tarbiyah Islamiyah di Pha Nga
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
pemerintah kerajaan Thailand memberi kebebasan yang sebesar-besarnya
bagi kaum muslim Thai untuk melaksanakan ibadah dan berdakwah. Dukungan
dari pemerintah kerajaan terhadap pembangunan pondok-pondok pesantren
dan sekolah muslim pun melengkapi jaminan kebebasan beribadah kaum
muslim di Thailand. Namun demikian, tidak semua lokasi di Thailand
menjadi tempat yang aman untuk kaum muslimin. Daerah Thailand selatan
sampai saat ini masih menjadi daerah yang mencekam karena hampir setiap
hari operasi militer digelar di kampung-kampung penduduk dengan alasan
mencari dalang peledakan bom di wilayah selatan. Propinsi Yala, Songkhla
dan Narathiwat adalah tiga wilayah di Thailand selatan yang akrab
dengan bahasa kekerasan tentara pemerintah. Kecurigaan yang berlebihan
terhadap penduduk muslim seringkali membuat para tentara mudah
melepaskan peluru dari senapan-senapan mereka. Walhasil, kasus salah
tembak menjadi salah satu kasus yang cukup populer di wilayah ini.
Meskipun senantiasa diliputi rasa khawatir terhadap keamanan mereka,
kaum muslimin di Thailand selatan tetap istiqomah mendidik generasi muda
Islam. Kami sempat berkunjung ke pesantren Tarbiyah Islamiyyah di
propinsi Pha Nga milik Ustadz Abdul Aziz. Pesantren ini terletak kurang
lebih 100 KM di sebelah utara bandara internasional Phuket. Ustadz Abdul
Aziz adalah warga Thailand selatan lulusan Universitas Al Azhar, Kairo.
Beberapa staf pengajar di pesantren ini pernah menempuh pendidikan
agama di Indonesia, antara lain di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta. Sekitar 300
santriwan dan santriwati menuntut ilmu agama dan kontemporer di
pesantren ini. Sistem pengajaran yang mereka terapkan pun mengadopsi
sistem yang digunakan oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia.
Gambar 6. Kegiatan Pengajian Warga Indonesia
Semarak dakwah Islam juga dirasakan oleh
masyarakat dan pelajar muslim Indonesia. Kajian bapak-bapak, ibu-ibu,
TPA/TKA dan kajian mingguan mahasiswa adalah beberapa kegiatan rutin
yang diadakan mingguan. Masyarakat dan Pelajar Muslim Indonesia juga
mengadakan silaturrahim bulanan dalam forum pengajian Ngajikhun. Acara
ini dilaksanakan di berbagai wilayah di seantero Thailand. Tak jarang,
rekan-rekan di Bangkok harus menempuh perjalanan sehari penuh untuk
bersilaturrahim dengan pelajar muslim di Chiang Rai, Thailand utara. Hal
serupa pernah dilakukan saat beberapa mahasiswa dari daerah Hat Yai,
Thailand selatan berkunjung ke Bangkok. Mereka menempuh perjalanan
selama 2 jam dengan menggunakan jalur udara atau kurang lebih sehari
penuh dengan jalur darat.
Gambar 7. Kios Makanan Halal di Chiang Mai
Isu-isu seputar makanan halal sering
menjadi bahan diskusi yang menarik di kalangan masyarakat dan pelajar
muslim Indonesia di Thailand. Meskipun majelis ulama Thailand sudah
memiliki badan khusus yang memverifikasi kehalalan produk dalam negeri
Thailand, jumlah makanan halal di Thailand masih sangat sedikit.
Biasanya, masyarakat dan pelajar muslim Indonesia mengenali warung
muslim dan makanan halal dengan tiga macam label, yakni label resmi
“Halal”, stiker bertuliskan “Allah” dan “Muhammad”, serta stiker
bertuliskan bacaan basmalah. Tak jarang para pemilik warung muslim
menambahkan tanda bulan dan bintang untuk mempertegas informasi
kehalalan makanan tersebut. Informasi tentang makanan halal dan
istilahnya dalam bahasa Thai biasanya menjadi kebutuhan pertama saat
datang ke negeri gajah putih ini. Selain berbekal informasi lokasi
warung halal di daerah Bangkok dan sekitarnya, saya juga menghafal
beberapa kata dalam bahasa Thai untuk menghindari babi, seperti “Phom
mai ouw muu” yang berarti “Saya tidak mau babi” atau “Phom mai kin muu”
yang berarti “Saya tidak makan babi” apabila saya kesulitan menemukan
warung halal di lokasi terdekat.
Selain masalah makanan, lokasi tempat
ibadah di pusat-pusat perbelanjaan pun agak sulit ditemukan. Beberapa
lokasi perbelanjaan umum, seperti Siam Paragon, Pratunam Center dan
Central World menyediakan mushola untuk umat Islam. Selebihnya, jangan
harap bisa menemui mushola di tempat umum. Bagi saya dan rekan-rekan
pelajar muslim Indonesia, membawa kompas penunjuk arah dan sajadah saat
bepergian adalah kebutuhan. Dua hal ini sangat penting apabila bepergian
di daerah-daerah minim mushola dan masjid. Hidup di tengah-tengah umat
non-muslim memberi pelajaran berharga tentang tepat waktu dan displin
menegakkan ibadah wajib meskipun tidak ada adzan yang berkumandang. Pun
pelajaran lainnya, keimaman kita benar-benar akan diuji di sini. Kita
bisa dengan mudah menemui berbagai tempat penjualan makanan yang
mengandung babi atau darah, hiburan malam, penjualan minuman beralkohol,
maupun wisata seks di Thailand. Masyarakat Buddha Thailand pada umumnya
menganggap tabu masalah prostitusi, namun pelanggaran yang ada di depan
mata tak bisa dicegah karena mereka tak mengenal sistem syari’at, iqob
(hukuman), dan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana dalam Islam. Oleh
karena itulah, penjualan minuman keras dan prostitusi sangat marak di
negeri ini. Bahkan dua hal tersebut menjadi salah satu daya tarik
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Thailand.
Di tengah-tengah gemerlap dan
hingar-bingar kehidupan masyarakat Thailand, saya semakin merasa yakin
bahwa dakwah Islam tidak mengenal batas-batas geografis dan sekat-sekat
nasionalisme yang banyak didengungkan oleh para pemimpin di akhir zaman
ini. Dakwah Islam tak mengenal istilah lokal dan transnasional, atau
konvensional dan modern. Sesungguhnya, Islam adalah agama yang peka
jaman dan selalu rasional, dimana pun dan kapan pun masanya.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar