'Pak, apa benar harga jual lobster konsumsi hanya Rp125.000/kg?' ujar Mina Natalia. Peternak pembesar di Jakarta Timur itu masygul setelah mengetahui harga beli dari seorang penampung di Jakarta yang dianggap terlalu rendah. Maklum setahun lalu saat memutuskan membesarkan lobster, Mina memonitor harga sekilo Cherax quadricarinatus berkisar Rp200.000-Rp250.000/kg.
Rasa tak puas itu berlanjut hingga akhirnya Mina Natalia-nama alias memilih membiarkan lobster konsumsi rata-rata berbobot 100-120 g/ekor itu tetap tinggal di 2 kolam berukuran 5 m x 5 m. 'Kalau dipanen mungkin dapat sekitar 15-20 kg,' ujar alumnus Akademi Sekretaris Tarakanita di Jakarta Timur itu.
Hitung-hitungan di atas kertas sebetulnya Mina tetap dapat memperoleh laba lumayan meski menerima harga jual Rp125.000/kg itu. Biaya pembesaran dari bibit 2 inci hingga 4,5-5 inci, berbobot rata-rata 100-120 g/ekor, berkisar Rp40.000-Rp60.000/kg. Biaya tinggi karena menggunakan pakan pelet udang. Namun, jika pakan alami yang diberikan seperti keong-mas, maka biaya dapat ditekan lebih rendah.
Jual langsung
Menurut Ir Cuncun Setiawan selisih harga di peternak dan penampung me-mang besar. 'Peternak ingin memperoleh harga sesuai harga jual yang diterima penampung dari restoran,' ujar pemilik Bintaro Fish Farm di Tangerang itu. Andai peternak memiliki akses langsung ke restoran, harga Rp200.000 bisa didapat. Namun, yang menjual via penampung tentu tidak. 'Penampung sudah menghitung risiko kematian saat lobster dipelihara sementara di penampungan,' tambahnya.
Dibandingkan harga sesama anggota crustacea, lobster air tawar tetap masih lebih tinggi. Lihat saja harga udang windu yang berkisar Rp35.000-Rp45.000/kg. Di atas harga Rp100.000/kg bertengger lobster air laut dan udang galah. Lobster air laut misalnya hanya sedikit lebih mahal Rp5.000/kg, sekitar Rp130.000/kg di tingkat penampung.
Berapa harga yang sebetulnya pantas diterima peternak? Hingga kini memang belum ada standarisasi harga lobster konsumsi di tanahair. Bernard Raharjo, peternak di Tangerang, menuturkan seandainya harga lobster dapat seperti di Australia, peternak tidak akan bingung. Di seluruh Australia harga pasaran sekilo lobster konsumsi saat ini dipatok $Aus25 setara Rp175.000/kg (kurs Rp7.000). 'Harga di sana stabil karena produksi lobster konsumsi sudah stabil,' ujar Bernard.
Celakanya ketidakpastian pasar tetap dianggap biang keladi sulitnya menentukan nilai jual lobster konsumsi di tanahair. 'Konsumen akhirnya belum tergambar jelas,' ujar FX Santoso, peternak di Surabaya. Restoran dan kafé yang membutuhkan pasokan lobster konsumsi serapannya masih relatif kecil. 'Saya pernah menyediakan 2-5 kg, tapi tidak habis dalam sehari,' kata Erik Susilo, pemilik restoran seafood di bilangan MT Haryono, Semarang.
Erik menduga kurangnya promosi menu-menu lobster konsumsi menjadi salah satu penyebab. 'Kalau promosi bagus, tanggapan masyarakat pasti bagus,' ujarnya. Terbukti dengan cara getok tular seperti saat mempromosikan menu lobster butter garlic, Erik dapat rutin menjual 3-4 kg/hari lobster ukuran konsumsi.
Tetap besar
Pasar lobster konsumsi memang masih terbuka lebar. Contoh Yogyakarta. Menurut Johan Effendi, Kota Gudeg itu membutuhkan 100 kg/bulan. 'Dari jumlah itu paling baru setengahnya yang terpenuhi,' ujar ketua Asosiasi Pengusaha Air Tawar itu. Harga jual rata-rata Rp100.000-Rp125.000/kg. Harga itu layak karena biaya mencetak lobster konsumsi dari bibit hanya Rp38.000/kg.
Menurut Yanto Susilo kebutuhan ibukota mencapai 500 kg/bulan. 'Tetap sulit terpenuhi lantaran peternak pembesar saat ini tidak banyak,' ujar ketua Koperasi Lobster Air Tawar (KOPELATI) di Jakarta itu. Khusus Jakarta karena komponen produksi lebih mahal, Yanto memperkirakan harga sekitar Rp150.000/kg di tingkat peternak cukup pantas. 'Kurang dari itu keuntungan peternak jadi kecil karena biaya produksi mencapai Rp60.000,' ujarnya
Berkaca dari kenyataan yang ada, Cuncun dan FX Santoso berharap justru pasar yang mengontrol harga lobster konsumsi. 'Mahal tidaknya tergantung dari penawaran dan permintaan saja,' kata Cuncun. Artinya bisa saja saat panen melimpah harga lobster Rp125.000/kg seperti yang diterima Mina. Namun, 3-4 bulan kemudian saat produksi berkurang, Mina pun dapat berharap memperoleh harga lebih tinggi lagi. (Andretha Helmina)
Depresiasi atau penyusutan dalam akuntansi adalah penyebaran biaya asal suatu aktiva tetap (bangunan, alat, komputer, dll) selama umur perkiraannya. Penerapan depresiasi akan mempengaruhi laporan keuangan termasuk penghasilan kena pajak suatu perusahaan.
Terdapat beberapa metode depresiasi, yaitu :
1. Metode Garis Lurus
2. Metode Saldo Menurun
3. Metode Jumlah Angka Tahun
4. Metode Unit Input
5. Metode Unit Output
1. METODE GARIS LURUS
Metode garis lurus membebankan jumlah beban penyusutan yang sama dari depresiasi untuk setiap periode akuntansi selama usia kegunaan aktiva tersebut. Dia ditentukan dengan cara mengurangkan nilai sisa dari biaya awal dan membaginya dengan jumlah tahun dari perkiraan usia. Oleh karena kemudahannya, maka metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan.
Dengan metode ini penyusutan tahunan dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu :
a. (Cost-Nilai Residu) : Umur
Misalkan nilai sebuah peralatan yang diperoleh tahun 2005 senilai Rp 16.000.000,00 dan masa manfaat ditentukan 5 tahun dengan nilai sisa Rp 1.000.000,00, besarnya penyusutan tahun 2006 dapat dihitung sebagai berikut: (16.000.000-1.000.000)/5 = Rp 3.000.000,00.
b. Ditentukan Persentase (%) Penyusutan
Kemudian penyusutan tahunan diperoleh dengan cara mengalikan % tersebut dengan cost yang disusutkan sebagai berikut :
1) Prosentase penyusutan tahunan = 100% : umur, jadi = 100% : 5 = 20%.
2) Dihitung penyusutan = 20% x (16.000.000 – 1.000.000) = Rp 3.000.000,00.
2. METODE SALDO MENURUN
Metode saldo menurun (dikenal juga sebagai saldo menurun ganda) merupakan bentuk yang popular untuk mempercepat depresiasi. Tingkat yang digunakan biasanya dua kali dari tingkat yang digunakan oleh metode garis lurus. Metode ini tidak memperhitungkan perkiraan nilai sisa dalam menentukan tingkat depresiasi atau menghitung depresiasi secara periodik. Meskipun demikian, suatu aktiva tidak dapat didepresiasikan melebihi perkiraan nilai sisa. Beban depresiasi adalah lebih tinggi di tahun pertama, dan menjadi lebih kecil di tahun berikutnya.
Pertama, tentukan prosentase penyusutan, biasanya dua kali prosentase penyusutan metode garis lurus. Dengan demikian jika ada mesin umurnya 5 tahun, maka tarif/prosentase penyusutan tahunannya adalah 2 x 100% : 5 = 40%. Setelah itu ditentukan nilai buku pada awal tahun. Nilai buku adalah saldo rekening aktiva tetap dikurangi dengan saldo rekening akumulasi penyusutan. Untuk tahun pembelian, karena akumulasi penyusutannya belum ada, maka nilai bukunya adalah sebesar harga perolehannya.
Selanjutnya besarnya penyusutan satu tahun dihitung dengan cara mengalikan % penyusutan dengan nilai buku. Misalkan ada sebuah mesin dibeli tanggal 2 Januari 2001 dengan harga Rp 16.000.000 dan ditaksir dapat digunakan selama 5 tahun. Penyusutan tahun 2001, 2002, dan 2003 dapat dihitung sebagai berikut :
Penyusutan tahunan dapat dicari dengan rumus lain yaitu menentukan Nilai
3. METODE ANGKA-ANGKA TAHUN
Metode jumlah angka tahun merupakan bentuk lain untuk mempercepat depresiasi. Depresiasi tahunan dihitung dengan cara mengurangi nilai sisa dari biaya sebenarnya, dan mengalikan jumlah ini dengan angka pecahan dari depresiasi. Penyebut pecahan adalah jumlah angka tahun dari usia kegunaan; untuk usia 5 tahun, penyebutnya = 1 + 2 + 3 + 4 + 5 =15. Pembilangnya adalah tahun dengan urutan mundur. Untuk tahun pertama, pembilangnya adalah 5 dan pecahannya adalah 5/15.
Alokasi cost aktiva tetap dilakukan berdasarkan angka tahun penggunaan. Jika umur aktiva tetap adalah 5 tahun, maka tahun penggunaannya adalah tahun ke 1,2,3,4,5. Jumlah dari angka-angka tersebut akan dijadikan penyebut. Sementara itu pembilangnya adalah sisa umur dari masing awal tahun penggunaan. Pada awal penggunaan sisa umurnya masih lima tahun, oleh karenanya pembilangnya adalah 5. Setelah digunakan 1 tahun, maka pada awal tahun kedua sisa umurnya adalah empat tahun sehingga pembilangnya adalah 4. Demikian seterusnya untuk tahun ketiga, keempat, dan seterusnya.
Misalkan ada sebuah mesin dibeli tanggal 2 Januari 2001 dengan harga Rp 16.000.000 ditaksir masa manfaat 5 tahun dengan nilai residu Rp 1.000.000. Penyusutan tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005 dapat dihitung sebagai berikut :
Tahun ke
Perhitungan
Jumlah
1
5/15 (16.000.000 – 1.000.000)
5.000.000
2
4/15 (16.000.000 – 1.000.000)
4.000.000
3
3/15 (16.000.000 – 1.000.000)
3.000.000
4
2/15 (16.000.000 – 1.000.000)
2.000.000
5
1/15 (16.000.000 – 1.000.000)
1.000.000
4. METODE UNIT INPUT
Alokasi cost aktiva tetap ke beban penyusutan tahunan digunakan jumlah input yang dikeluarkan (misalnya jam mesin) dalam suatu tahun dibandingkan dengan taksiran input (jam mesin) yang harus dikeluarkan sampai aktiva tetap tersebut diafkir. Misalkan sebuah mesin dibeli pada tanggal 2 Januari 2001 dengan harga Rp 16.000.000 dan ditaksir dapat digunakan selama 100.000 jam dengan nilai residu Rp 1.000.000. Selama tahun 2001 digunakan selama 5.000 jam, maka penyusutan tahun 2001 adalah :
(5.000/100.000) x (Rp 16.000.000 – Rp 1.000.000)
= Rp 750.000
5. METODE UNIT OUTPUT
Alokasi cost aktiva ke beban penyusutan tahunan menggunakan jumlah produk yang dihasilkan dalam suatu tahun dibandingkan dengan taksiran output (jumlah produk) yang akan dihasilkan sampai aktiva tetap tersebut diafkir. Misalkan sebuah mesin dibeli pada tanggal 2 Januari 2001 dengan harga Rp 16.000.000 dan ditaksir dapat digunakan untuk membuat produk sebanyak 200.000 unit dengan nilai residu Rp 1.000.000. Selama tahun 2001 digunakan selama 20.000 unit maka penyusutan tahun 2001 adalah :
Asumsi-asumsi dalam analisis finansial : (a) tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan adalah tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku di lokasi penelitian sebesar 18% per tahun; (b) usia ekonomis (economic life) usaha penangkapan lobster ditetapkan selama 4 tahun, sedangkan usaha pembesaran lobster selama 5 tahun. Usia ekonomis tersebut ditentukan berdasarkan usia ekonomis tertinggi dari sarana atau peralatan yang digunakan, dengan ketentuan bahwa peralatan yang mempunyai usia ekonomis lebih pendek dilakukan penyesuaian dengan cara menghitung kebutuhan sarana atau alat tersebut agar usia ekonomis tertinggi dapat dicapai, salvage value tidak ada; (c) nilai penyusutan (depresiasi) didasarkan atas metode garis lurus (straight line balance method) dimana beban penyusutan diseragamkan per tahunnya dan (d) dalam penghitungan IRR diasumsikan bahwa setiap benefit netto tahunan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan memperoleh rate of return yang sama dengan investasi-investasi sebelumnya.
Biaya perawatan ditetapkan sebesar 5% dari total biaya investasi. Nilai depresiasi (penyusutan) ditentukan berdasarkan atas metode garis lurus (straight line balance method) dimana beban penyusutan dibagi secara merata (diseragamkan) per tahunnya selama usia ekonomisnya (Nikijuluw et al., 2000). Usia ekonomis (economic life) usaha penangkapan lobster ditetapkan selama 4 tahun, sedangkan usaha pembesaran lobster selama 5 tahun.Usia ekonomis tersebut ditentukan berdasarkan usia ekonomis tertinggi dari sarana atau peralatan yang digunakan dalam usaha penangkapan atau usaha pembesaran tersebut, dengan ketentuan bahwa peralatan yang mempunyai usia ekonomis lebih rendah harus dilakukan penyesuaian dengan cara menghitung kebutuhan sarana atau alat yang bersangkutan agar usia ekonomis tertinggi dapat tercapai. Dengan demikian salvage value dapat dianggap tidak ada. Bunga modal diperhitungkan berdasarkan bunga pinjaman yang berlaku di masyarakat pada tahun bersangkutan sebesar 18% per tahun. Tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan dalam analisis, karena akan merupakan pendapatan keluarga.
Usaha penangkapan akan berada pada posisi BEP atau keuntungan sama dengan nol, apabila menghasilkan lobster sebanyak 29,73 kg atau jika harga satuan lobster yang diterima nelayan mencapai Rp.100.891/kg. Sedangkan usaha pembesaran akan berada pada posisi BEP, apabila volume produksi mencapai 35,67 kg atau jika harga satuan yang diterima nelayan mencapai Rp.93.038/kg. Dengan demikian, usaha penangkapan maupun usaha pembesaran layak diusahakan, karena mampu menghasilkan lobster sebanyak 44,68 kg dan 61,67 kg dengan harga satuan yang diterima nelayan sebesar Rp.150.000,- per kg atau 33-42% di atas BEP.
Bagi usaha penangkapan dimana produksi sangat fluktuatif karena dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti musim, kondisi perairan, maka kriteria BEP produksi sangat berguna untuk menentukan apakah produksi yang dihasilkan berada pada kondisi menguntungan atau merugi. Dalam kondisi dimana harga pasar lobster yang sangat fluktuatif terutama karena dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka harga BEP berguna untuk menentukan apakah tingkat harga pasar yang berlaku menguntungkan atau tidak, sehingga nelayan dapat mempertimbangkan apakah menjual produknya atau tidak.
Periode pengembalian modal (PBP) usaha penangkapan adalah 2,5 tahun atau lebih singkat dari usia ekonomisnya selama 4 tahun, sedangkan PBP usaha pembesaran adalah 1,5 tahun atau lebih singkat dari usia ekonomisnya selama 5 tahun. Hal ini berarti bahwa kedua usaha tersebut mampu mengembalikan modal investasinya sebelum usia ekonomisnya berakhir.
Semenjak lobster mulai dikenal sebagai komoditas komersial sekitar tahun 1990-an, maka usaha penangkapan lobster menjadi salah satu sumber pendapatan sebagian nelayan di Teluk Ekas. Intensitas penangkapan yang terus meningkat dan sering diikuti penggunaan racun sianida, telah menimbulkan tekanan serius pada populasi lobster dan habitatnya, sehingga populasinya terus mengalami penurunan. Berkembangnya usaha pembesaran lobster dalam keramba jaring apung (KJA) di Teluk Ekas, mendorong sebagian nelayan penangkapan beralih ke usaha pembesaran ini. Sejauh mana kontribusi kedua usaha ini terhadap pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga nelayan, telah dilakukan penelitian untuk menganalisis dan membandingkan aspek sosial ekonomi antara usaha pembesaran lobster dalam KJA dengan usaha penangkapan lobster. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2003, dengan metode survei deskriptif terhadap rumah tangga nelayan penangkapan dan nelayan pembesaran yang ditentukan secara stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan pembesaran lebih baik dibandingkan dengan nelayan penangkapan. Hal ini dapat diukur dari tingkat pendapatan dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga, kelayakan usaha, status kesejahteraan rumah tangga, peluang usaha dan kesempatan kerja, posisi tawar nelayan dan resiko usaha. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya lobster, antara lain : kebijakan investasi, skim kredit, kelembagaan dan hukum, penelitian dan penyuluhan.
Kata kunci : lobster, penangkapan, pembesaran, aspek sosial, ekonomi.
PENDAHULUAN
Lobster (Spiny Lobster, Panulirus spp), merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain karena permintaan lobster yang tinggi dan ditunjang akses strategis pasar yang lancar dengan harga yang kompetitif, juga karena NTB memiliki sumberdaya lobster yang cukup potensial. Pesisir dan laut NTB seluas 29.159,04 km2, di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang seluas 3.601 km2, yang merupakan habitat alami lobster yang kondisinya masih baik. Menurut Idris et al. (2001), sumberdaya lobster sudah mengalami tangkap lebih, kecuali di sebelah selatan Nusa Tenggara dan beberapa daerah lainnya.
Permintaan yang tinggi terhadap komoditas ini, mendorong eksploitasi lobster terus meningkat. Di Teluk Ekas usaha penangkapan lobster telah berkembang sejak tahun 1990-an. Namun perkembangan usaha penangkapan di daerah tersebut tidak diikuti dengan peningkatan sarana penangkapan yang memadai. Rendahnya penguasaan sarana dan teknologi penangkapan, menyebabkan hasil tangkapan rendah. Pada kondisi dimana hasil tangkapan yang diperoleh tidak lagi mencukupi kebutuhan rumah tangga yang terus meningkat, akan mendorong dilakukannya berbagai tindakan yang merusak (destructive), seperti penggunaan racun sianida. Terlebih lagi dengan semakin ketatnya persaingan antar nelayan, dengan kondisi sumberdaya lobster yang semakin terbatas.
Intensitas penangkapan yang tinggi disertai penggunaan racun sianida, tidak hanya menimbulkan tekanan pada populasi lobster, melainkan juga menimbulkan kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat utama lobster. Tekanan terhadap populasi lobster yang diikuti menurunnya kemampuan daya dukung lingkungan dapat mengancam kapasitas keberlanjutan lobster untuk tumbuh dan berkembang secara alamiah. Bahkan dalam periode tertentu jika tidak ada upaya pengendalian, dapat menyebabkan kepunahan. Pada kondisi demikian, maka sumberdaya lobster tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan nelayan dan devisa, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berkembangnya usaha pembesaran lobster dalam KJA di Teluk Ekas sejak tahun 2001, menyebabkan sebagian nelayan penangkapan beralih ke usaha pembesaran ini. Walaupun usaha pembesaran masih mengandalkan benih dari alam dan pakan berupa ikan rucah (ikan pelagis kecil) yang dipasok dari alam, namun usaha ini terus berkembang tidak hanya di Teluk Ekas, bahkan di luar kawasan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembesaran ini mendapat respon positif dari masyarakat.
Sejauh mana kontribusi kedua usaha ini terhadap pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga nelayan, telah dilakukan penelitian untuk menganalisis dan membandingkan aspek sosial ekonomi antara usaha pembesaran lobster dalam KJA dengan usaha penangkapan lobster. Menurut Adnyana (1997), suatu teknologi akan diadopsi oleh masyarakat, apabila secara sosial mudah diterapkan dan tidak bertentangan dengan nilai budaya setempat, secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologis sesuai dan tidak bersifat destruktif.
Penelitian ini bertujuan menganalisis dan membandingkan aspek sosial ekonomi antara usaha pembesaran lobster dalam KJA dengan usaha penangkapan lobster. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya lobster, antara lain : kebijakan investasi, skim kredit, kelembagaan dan hukum, penelitian dan penyuluhan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2003 di Teluk Ekas, Lombok Timur yang merupakan lokasi dimana usaha penangkapan dan usaha pembesaran lobster dilakukan oleh nelayan secara berdampingan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei deskriptif. Obyek penelitian adalah rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster dalam KJA dengan responden sebanyak 30 rumah tangga nelayan yang ditentukan secara stratified random sampling. Pengumpulan data dilakukan secara indepth-interview dan observasi dengan menggunakan kuisioner semi terstruktur. Status kesejahteraan rumah tangga diukur berdasarkan standar kemiskinan untuk pedesaan (Sayogyo, 1982 dan BPS, 2000). Kelayakan finansial usaha penangkapan dan usaha pembesaran lobster ditentukan berdasarkan kriteria Gross Benefit/Cost Ratio (B/C ratio), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah, 1988). Untuk melihat titik balik modal atau keuntungan sama dengan nol dilakukan analisis titik impas (break even point, BEP) (Riyanto, 1995). Untuk mengetahui lama waktu (periode) pengembalian modal, maka didekati dengan analisis pay back period (PBP) (Soekartawi, 1995). Untuk menguji apakah aspek sosial ekonomi usaha penangkapan dan pembesaran berbeda nyata atau tidak, dilakukan uji nilai tengah t-Students. Jika nilai t hitung (t hit) lebih kecil dari t tabel (p>0,05), maka kedua usaha tersebut tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
Asumsi-asumsi dalam analisis finansial : (a) tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan adalah tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku di lokasi penelitian sebesar 18% per tahun; (b) usia ekonomis (economic life) usaha penangkapan lobster ditetapkan selama 4 tahun, sedangkan usaha pembesaran lobster selama 5 tahun. Usia ekonomis tersebut ditentukan berdasarkan usia ekonomis tertinggi dari sarana atau peralatan yang digunakan, dengan ketentuan bahwa peralatan yang mempunyai usia ekonomis lebih pendek dilakukan penyesuaian dengan cara menghitung kebutuhan sarana atau alat tersebut agar usia ekonomis tertinggi dapat dicapai, salvage value tidak ada; (c) nilai penyusutan (depresiasi) didasarkan atas metode garis lurus (straight line balance method) dimana beban penyusutan diseragamkan per tahunnya dan (d) dalam penghitungan IRR diasumsikan bahwa setiap benefit netto tahunan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan memperoleh rate of return yang sama dengan investasi-investasi sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Karakteristik rumah tangga
Karakteristik rumah tangga menunjukkan ciri atau keadaan yang menggambarkan keadaan atau status kesejahteraan rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster di Teluk Ekas, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster di Teluk Ekas, 2003.
No.
Variabel dan sebaran
Penangkapan
Pembesaran
1.
Umur rata-rata KK (th)
26,20
37,27
2.
Pendidikan KK (%)
·Tidak Sekolah (TS)
13,33
13,33
·SD
66,67
46,67
·SLTP
20,00
13,33
·SLTA
0
26,67
3.
Tanggungan keluarga (org)
3,53
4,00
4.
Kondisi rumah (%)
·Tidak permanen
46,67
6,67
·Semi permanen
46,67
53,33
·Permanen
6,67
40,00
5.
Fasilitas rumah tangga (%)
·Radio/tape/tidak memiliki
86,67
33,33
·Televisi
13,33
66,67
·VCD
13,33
53,33
·Parabola
6,67
20,00
6.
Status kepemilikan rumah (%)
·Bukan milik
33,33
6,67
·Milik
66,67
93,33
Sumber : Data primer diolah tahun 2003
Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa status kesejahteraan rumah tangga nelayan pembesaran relatif lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga nelayan penangkapan. Tingkat pendidikan berpengaruh pada kemampuan manajerial dalam pengambilan keputusan dan penguasaan aset produktif. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Kasryno dan Suryana (1992), bahwa rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu ciri yang melekat pada rumah tangga miskin. Rendahnya sumberdaya manusia berpengaruh pada penguasaan aset produktif, seperti sarana dan modal. Terbatasnya penguasaan terhadap aset-aset produktif dan rendahnya sumberdaya manusia menjadi faktor penyebab, sekaligus karakteristik rumah tangga nelayan miskin.
Rumah nelayan pembesaran pada umumnya permanen dan semi permanen (93,33%), sedangkan rumah nelayan penangkapan pada umumnya masih sangat sederhana (tidak permanen) (46,67%) dan semi permanen (46,67%). Rumah tangga nelayan pembesaran sebagian besar memiliki televisi dan bahkan parabola, sedangkan rumah tangga nelayan penangkapan sebagian besar belum memiliki televisi. Hampir seluruh nelayan pembesaran menempati rumah milik sendiri (93,33%), sedangkan nelayan penangkapan yang menempati rumah milik sendiri (66,67%), sisanya (33,33%) menumpang pada keluarga atau orang lain. Keadaan, fasilitas dan status rumah menggambarkan keadaan sosial rumah tangga nelayan sehingga dapat digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan nelayan. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus tersedia. Seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin (BPS, 2000).
Hasil uji statistik nilai tengah varibel-variabel karakteristik rumah tangga, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji statistik kesamaan dua nilai tengah antara nelayan penangkapan dan nelayan pembesaran lobster di Teluk Ekas.
Variabel
Penangkapan
Pembesaran
T
P
Pooled StDev
Mean
SE Mean
Mean
SE Mean
1. Umur KK
26,20
2,2
37,27
1,7
3,95*
0,0005
7,67
2. Pendidikan KK
5,80
0,60
7,20
1,0
1,15
0,26
3,33
3. Tanggungan Klg
3.53
0,487
4,0
0,352
0,78
0.44
1,64
4. Kondisi rumah
1,6
0,163
2,333
0,159
3,21*
0,0033
0,625
5. Fasilitas rumah
1,33
0,232
2,133
0,274
2,23*
0,034
0,983
6. Status rumah
1,6
0,13
1,933
0,067
2,27*
0,031
0,402
Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 95% (p<0 o:p="">0>
Hasil uji statistik (Tabel 2) menunjukkan bahwa keadaan umur, kondisi rumah, fasilitas rumah dan status rumah berbeda nyata (p<0 berbeda="" dan="" keluarga="" nyata="" p="" pendidikan="" sedangkan="" tanggungan="" tidak="" tingkat="">0,05). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan pembesaran lebih baik dibandingkan dengan nelayan penangkapan. 0>
2.Pendapatan rumah tangga
Pendapatan rumah tangga sering digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan. Menurut Bappenas (2000), salah satu cara untuk mengukur status kemiskinan suatu rumah tangga adalah dengan menghitung pendapatan rumah tangga tersebut dalam satu tahun. Yang dimaksud dengan pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh seluruh anggota keluarga dari berbagai sumber baik dari usaha pokok maupun dari luar usaha pokok dalam satu tahun (Soekartawi, 1995). Sumber dan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan dalam setahun, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3.Sumber dan pendapatan rata-rata nelayan penangkapan dan nelayan pembesaran lobster per tahun di Teluk Ekas, 2003.
Sumber pendapatan
Penangkapan (Rp/th)
Pembesaran (Rp/th)
1. Penangkapan ikan (PIK)
4.920.000
4.060.000
2. Penangkapan lobster (PUK)
2.242.278
720.000
3. Pembesaran lobster (BUK)
379.000
4.120.281
4. Budidaya rumput laut (BRL)
960.000
2.586.000
5. Lain-lain
640.000
3.187.000
Jumlah
9.141.278
14.673.281
Sumber : Data primer diolah 2003
Hasil analisis (Tabel 3) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan pembesaran lebih besar dibandingkan dengan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan penangkapan, yaitu Rp.14.673.281,- dibanding Rp.9.141.278,- per tahun. Dilihat dari sumbernya, pendapatan rumah tangga nelayan penangkapan sebagian besar bersumber dari usaha penangkapan ikan, disusul usaha penangkapan lobster, usaha budidaya rumput laut, usaha pembesaran lobster dan dari sumber lain-lain (buruh/tukang). Sedangkan pendapatan rumah tangga nelayan pembesaran yang terbesar bersumber dari usaha pembesaran lobster, disusul dari usaha penangkapan ikan, usaha budidaya rumput laut, usaha penangkapan lobster, dan dari sumber lain-lain (jasa angkutan Rp.1.320.000,- dagang Rp.1.160.000,-dan tambak garam Rp.707.000.-).
Hasil analisis pendapatan per kapita per bulan (Tabel 1), menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata per kapita nelayan penangkapan sebesar Rp.220.070,- per bulan dan pendapatan nelayan pembesaran Rp.258.384,- per kapita per bulan atau melampaui garis kemiskinanberdasarkan standar BPS (2000) untuk pedesaan sebesar Rp.74.272,- per kapita per bulan atau standar Sayogyo setara beras 240 kg per kapita per tahun. Walaupun pendapatan per kapita tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi selisih pendapatan sebesar Rp.30.000,- per bulan cukup berarti bagi nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pendapatan nelayan Teluk Ekas dari usaha tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan nelayan pesisir Lombok Barat. Hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan pesisir Lombok Barat antara Rp.210.540 – Rp.643.510,- per tahun (Dahuri, 2000).
Sumber pendapatan nelayan pembesaran lebih banyak dibandingkan sumber pendapatan rumah tangga penangkapan. Dari sisi ekonomi dapat dikatakan bahwa banyaknya sumber pendapatan mencerminkan tingkat kestabilan pendapatan rumah tangga. Makin banyak sumber pendapatan makin stabil pendapatan rumah tangga.
Kontribusi berbagai sumber pendapatan terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga, seperti ditunjukkan dalam Grafik pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik perbandingan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster di Teluk Ekas, 2003.
Pendapatan nelayan penangkapan dari usaha penangkapan lobster (Gambar 1) hanya memberikan kontribusi sebesar 24,53% terhadap pendapatan rumah tangga; hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : (a) teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, yaitu dilakukan dengan cara menyelam dengan hanya menggunakan alat bantu kaca mata selam tanpa alat bantu pernapasan sehingga lama operasi berlangsung singkat 4-6 jam/trip; (b) sarana transportasi yang digunakan berupa sampan/jukung ukuran kecil (0,8 m x 8-10m) yang hanya mampu menjangkau daerah di sekitar pesisir Teluk Ekas yang sudah dikategorikan daerah tangkap lebih; (c) jumlah operasi atau trip masih sedikit (6-14 trip/bulan) karena dipengaruhi oleh kondisi musim dan kondisi perairan; serta (d) jumlah armada cukup banyak sehingga persaingan sangat ketat.
Demikian pula pendapatan nelayan pembesaran dari usaha pembesaran lobster hanya memberikan kontribusi sebesar 28,08% terhadap pendapatan rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain : (a) jumlah unit KJA yang diusahakan masih sedikit (belum memenuhi skala usaha); (b) padat tebar benih belum optimal; (c) harga benih terlalu tinggi; (d) usaha pembesaran lobster masih bersifat sub sisten dan belum dikelola secara komersial.
3.Pengeluaran rumah tangga
Status kesejahteraan dapat diukur berdasarkan proporsi pengeluaran rumah tangga (Bappenas, 2000). Nelayan dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, seperti pendidikan, pakaian, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan sosial kemasyarakatan lainnya. Sebaliknya rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, dapat dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih rendah.
Proporsi pengeluaran rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster dalam setahun di Teluk Ekas, ditunjukkan dalam Grafik pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik perbandingan proporsi pengeluaran rumah tangga nelayan penangkapan dan pembesaran lobster per tahun di Teluk Ekas, 2003.
Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pokok) masih mendominasi pengeluaran tahunan rumah tangga nelayan (Grafik 2). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan rumah tangga telah melampaui garis kemiskinan tetapi tingkat kesejahteraan nelayan masih tergolong rendah. Proporsi pengeluaran rumah tangga nelayan penangkapan untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan proporsi pengeluaran rumah tangga pembesaran untuk keperluan yang sama, yaitu 86,16% dibandingkan dengan 77,54%. Hal ini berarti bahwa proporsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar di luar kebutuhan pokok sangat kecil, yaitu hanya sebesar 13% dan 22,46%. Kenyataan tersebut menunjukkan status kesejahteraan nelayan masih tergolong rendah. Bila dibandingkan antara nelayan penangkapan dan pembesaran, maka status kesejaheraan nelayan pembesaran cenderung lebih baik dibandingkan dengan nelayan penangkapan.
4.Peluang usaha dan kesempatan kerja
Usaha penangkapan maupun usaha pembesaran lobster merupakan kegiatan investasi. Selain memberikan manfaat langsung berupa output yang dapat diukur dengan satuan moneter (tangiable), juga dapat memberikan manfaat sekunder yang sulit diukur dengan satuan moneter (intangiable), diantaranya peluang usaha dan penciptaan lapangan kerja baru, pemerataan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan waktu luang tenaga keluarga, peningkatan kualitas produk dan jaminan kepastian hasil.
Berkembangnya usaha penangkapan dan pembesaran lobster di Teluk Ekas dapat menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha, antara lain : (a) penyediaan bahan baku; (b) penyediaan benih dan pakan; (c) pemasaran hasil lobster dan (d) pelayanan jasa lainnya, seperti transportasi dan komunikasi. Berkembangnya usaha pembesaran akan membutuhkan bahan dan sarana produksi yang cukup banyak, seperti kebutuhan bambu untuk konstruksi KJA dan pendukungnya 14.000 batang, tali nylon 1,5-2 ton, pelampung 500-1000 buah, benih 150.000 ekor dan pakan sekitar 250 ton. Ini berarti bahwa penyerapan tenaga kerja akan meningkat.
5.Aspek pemasaran
Lobster merupakan komoditas ekspor yang dipasarkan dalam keadaan hidup (live lobster) atau segar (fresh lobster). Karena itu aksesibilitas pasar dan teknologi pengemasan merupakan faktor yang sangat penting. Letak geografis Teluk Ekas yang relatif dekat, dengan waktu tempuh menggunakan pesawat udara 30 menit dan kapal laut cepat (jet poil) ke Denpasar kurang dari 4 jam atau pesawat udara ke Jakarta kurang dari 3 jam perjalanan, memungkinkan tingkat kehidupan (SR) atau kesegaran lobster dapat dipertahankan.Umumnya pedagang pengumpul atau pengusaha hanya membeli udang yang masih hidup dari nelayan. Mortalitas dalam pengiriman harus ditekan sekecil mungkin karena resikonya ditanggung oleh pengirim. Walaupun udang mati tetapi masih segar masih dapat dibeli, tetapi harganya separuh harga udang hidup.
Melihat bahwa pemasaran lobster merupakan salah satu peluang bisnis yang menguntungkan, maka jumlah pengusaha pemasaran ikan hidup, termasuk lobster terus bertambah. Berkembangnya pengusaha dan pedagang pengumpul lokal tersebut menimbulkan persaingan harga dan munculnya berbagai mekanisme atau jalur pemasaran lobster di Teluk Ekas. Dari sisi nelayan hal ini sangat menguntungkan. Terdapat tiga jalur pemasaran lobster di Teluk Ekas, secara ringkas dapat ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan alir jalur pemasaran lobster di Teluk Ekas, 2003.
Bagan alir (Gambar 2) memperlihatkan bahwa jalur pemasaran lobster di Teluk Ekas dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu : (1) nelayan menjual ke pengumpul lokal, pengumpul lokal menjual ke pengumpul antara (Praya atau Mataram), selanjutnya dijual ke eksportir antara di Denpasar, atau dari pengumpul lokal langsung menjual ke eksportir antara di Jakarta. Dari eksportir antara Denpasar atau Jakartakemudian diekspor ke negara tujuan melalui Singapura, Hongkong atau lainnya; (2) nelayan menjual ke pengumpul antara, dari pengumpul antara kemudian dijual ke eksportir antara di Denpasar, untuk selanjutnya diekspor ke negara tujuan, dan (3) nelayan menjual langsung ke eksportir antara di Denpasar tanpa melalui pengumpul lokal maupun pengumpul antara. Dari eksportir antara Denpasar diekspor ke negara tujuan.
Nelayan dapat memilih jalur pemasaran yang paling memungkinkan dan menguntungkan berdasarkan pertimbangan teknis maupun ekonomis. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lebih dari 90% nelayan penangkapan, memilih jalur pertama, karena volume hasil tangkapan relatif kecil antara 0,5-1,5 kg/unit, sehingga tidak efisien kalau harus dijual ke pengumpul perantara. Disamping itu lobster hasil tangkapan biasanya cepat mati atau jika ditampung akan terjadi penyusutan berat.
Lebih dari 60% nelayan pembesaran memilih jalur pemasaran kedua, karena selain volume jual lebih banyak, juga dapat diatur jadwal penjualan dengan pengumpul antara. Dengan demikian posisi tawar (bargaining position) nelayan pembesaran lebih baikdibandingkan dengan nelayan penangkapan. Nelayan pembesaran yang memiliki cukup modal dan keterampilan dalam penanganan hasil (pengemasan) serta memiliki akses dengan eksportir antara di Jakarta atau Denpasar, memungkinkan dapat memilih jalur pemasaran ketiga; dan hal ini sudah mulai dirintis oleh nelayan pembesaran di Teluk Ekas.
Perbedaan jalur pemasaran, menentukan tingkat harga yang diterima oleh nelayan. Tingkat harga yang diterima nelayan melalui jalur pertama lebih rendah dibandingkan tingkat harga yang diterima melalui jalur kedua dan harga yang diterima nelayan pada jalur pemasaran ketiga adalah yang tertinggi. Selisih harga antara jalur pemasaran pertama dan kedua sekitar Rp.1.000-2.000,-/kg; sedangkan antara jalur pemasaran kedua dan ketiga dapat mencapai Rp.25.000-30.000,-/kg. Untuk dapat menempuh jalur pemasaran ketiga volume penjualan minimal 16 kg (1 koli) dengan resiko kematian ditanggung oleh nelayan. Jalur pemasaran ketiga ini merupakan peluang bagi nelayan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil usahanya. Margin pemasaran masih memungkinkan dapat ditekan dengan membuka jalur pemasaran langsung Mataram-Singapura atau Mataram-Hongkong, sehingga harga lobster di tingkat nelayan dapat lebih tinggi.
6.Resiko usaha
Hasil penangkapan di laut oleh suatu unit usaha penangkapan sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Fluktuasi hasil tangkapan hampir merupakan suatu usaha yang bersifat untung-untungan, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor musim, kondisi sumberdaya lobster di daerah penangkapan (fishing area), kondisi perairan dan efektivitas alat tangkap yang digunakan. Dari berbagai faktor yang secara simultan berpengaruh, maka sulit untuk menduga hasil penangkapan suatu unit penangkapan di laut. Penangkapan dengan menggunakan racun sianida mengandung resiko terhadap nelayan, karena racun sianida tergolong jenis racun yang sangat berbahaya bagi manusia. Menurut Sugiharto (1987), senyawa sianida dalam jumlah yang sangat sedikit saja dapat menimbulkan keracunan dan merusak organ hati manusia.
Nelayan penangkapan selalu berhadapan dengan sumberdaya yang bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Dengan demikian elemen resiko menjadi sangat tinggi. Dalam hal ini Satria et al. (2002) mengemukakan bahwa secara sosiologis, karakteristik nelayan penangkapan berbeda dengan karakteristik petani seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya alam yang tersedia. Petani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif dapat diprediksi. Dengan sifat produksi yang demikian, memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resikopun tidak besar. Dalam hal ini nelayan pembesaran lobster dalam KJA dapat digolongkan ke dalam masyarakat petani karena relatif sama sifat sumberdaya yang dihadapi. Kesamaan ini ditunjukkan bahwa nelayan pembesaran mengetahui jumlah, tempat dan waktu lobster dipanen, sehingga pola pemanenan lebih terkontrol. Pola pemanenan yang terkontrol tersebut disebabkan oleh input produksi yang terkontrol pula. Nelayan pembesaran tahu berapa input produksi (benih, pakan) yang harus tersedia untuk mencapai output yang dihasilkan. Beberapa faktor yang perlu diwaspadai pada usaha pembesaran lobster adalah faktor teknis, misalnya kelangkaan pakan yang dapat meningkatkan mortalitas lobster; faktor alam, misalnya terjadinya badai dan faktor sosial seperti penjarahan dan pencurian.
7.Analisis biaya dan pendapatan
Dalam analisis biaya dan keuntungan, komponen biaya yang diperhitungkan terdiri atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap meliputi biaya perawatan, penyusutan dan bunga modal.
Biaya perawatan ditetapkan sebesar 5% dari total biaya investasi. Nilai depresiasi (penyusutan) ditentukan berdasarkan atas metode garis lurus (straight line balance method) dimana beban penyusutan dibagi secara merata (diseragamkan) per tahunnya selama usia ekonomisnya (Nikijuluw et al., 2000). Usia ekonomis (economic life) usaha penangkapan lobster ditetapkan selama 4 tahun, sedangkan usaha pembesaran lobster selama 5 tahun.Usia ekonomis tersebut ditentukan berdasarkan usia ekonomis tertinggi dari sarana atau peralatan yang digunakan dalam usaha penangkapan atau usaha pembesaran tersebut, dengan ketentuan bahwa peralatan yang mempunyai usia ekonomis lebih rendah harus dilakukan penyesuaian dengan cara menghitung kebutuhan sarana atau alat yang bersangkutan agar usia ekonomis tertinggi dapat tercapai. Dengan demikian salvage value dapat dianggap tidak ada. Bunga modal diperhitungkan berdasarkan bunga pinjaman yang berlaku di masyarakat pada tahun bersangkutan sebesar 18% per tahun. Tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan dalam analisis, karena akan merupakan pendapatan keluarga.
Biaya investasi dalam usaha penangkapan lobster meliputi peralatan selam, sarana transportasi, dan sarana penunjang. Pada usaha pembesaran, biaya investasi mencakup biaya konstruksi KJA, yang terdiri atas kerangka, pelampung, jaring, jangkar, pemberat jaring, dan rumah jaga. Sedangkan sarana transportasi, yang terdiri atas sampan dan mesin penggerak dihitung berdasarkan running account, yaitu memasukkan biaya investasi sesuai dengan proporsi penggunaannya. Sampan dan mesin penggerak yang digunakan dalam operasional usaha pembesaran adalah sarana transportasi yang digunakan pada usaha penangkapan ikan, sehingga dalam perhitungan biaya investasi hanya dimasukkan sebesar 50% dari harga sampan dan mesin penggerak.
Biaya tidak tetap untuk usaha penangkapan dihitung dari biaya bensin, bahan kimia, dan tenaga kerja (awak/sabi) yang bekerja dalam operasional penangkapan. Pada usaha pembesaran, biaya tidak tetap diperhitungkan dari harga benih, pakan, bensin dan tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan tenaga kerja dalam keluarga tidak dimasukkan dalam analisis biaya dan pendapatan baik pada usaha penangkapan maupun usaha pembesaran, karena merupakan pendapatan keluarga.
Produksi adalah seluruh hasil riil lobster yang diperoleh dari usaha penangkapan dan pembesaran selama satu tahun. Nilai produksi (total penerimaan) dihitung berdasarkan volume produksi dikalikan dengan harga pasar yang berlaku untuk setiap nelayan. Pendapatan usaha diperhitungkan dari selisih penerimaan total (total revenue) dengan total biaya (total cost). Hasil analisis biaya dan pendapatan usaha penangkapan dan pembesaran lobster dalam periode satu tahun di Teluk Ekas, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4.Rata-rata biaya dan pendapatan usaha penangkapan dan pembesaran lobster per tahun di Teluk Ekas, 2003.
Komponen biaya dan pendapatan
Pendapatan Rp/tahun
Penangkapan
Pembesaran
A. Komponen biaya
1. Biaya tetap (fixed cost)
1.468.356
1.178.775
- Perawatan 5% investasi
159.263
148.055
- Biaya penyusutan
709.464
497.722
- Bunga modal (18%/th).
599.628
532.998
2. Biaya tidak tetap (variable cost)
2.991.367
4.443.067
- Potas
6,667
0
- Bensin
218,400
0
- Awak
2,766,300
0
- Benih
0
3,172,000
- Pakan rucah segar
0
1,169,333
- Bensin
0
95,067
- Upah tenaga kerja
0
6,667
3. Total biaya
4.459.722
5.621.842
B. Nilai produksi
6.702.000
9.742.123
C. Pendapatan
2.242.278
4.120.281
Sumber : Data primer diolah, 2003
Hasil analisis (Tabel 4) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata usaha penangkapan lebih kecil dibanding pendapatan rata-rata usaha pembesaran, yaitu, Rp.2.242.278,-/tahun dibandingkan dengan Rp.4.120.281,-/tahun atau berbeda nyata (p<0 bagi="" benih="" besarnya="" biaya="" dan="" dapat="" demikian="" dengan="" dipelihara="" dipengaruhi="" diperoleh.="" diperoleh="" ditentukan="" ditingkatkan="" harga="" hasil="" hidup="" juga="" kelangsungan="" kerja="" keuntungan="" komponen="" lobster="" mampu="" masih="" menyediakan="" merupakan="" namun="" nelayan="" o:p="" oleh="" pada="" pakan.="" pakan="" pembesaran="" penangkapan="" pendapatan="" sedangkan="" selain="" sendiri.="" tenaga="" terbesar="" tergantung="" tersebut="" terutama="" tingkat="" upah="" usaha="" volume="" walaupun="" yang="">0>
Pendapatan dari usaha penangkapan nampaknya sulit untuk ditingkatkan, mengingat kondisi sumberdaya lobster di lokasi penangkapan sudah tergolong padat tangkap. Sedangkan pendapatan usaha pembesaran masih bisa ditingkatkan dengan menyediakan benih dan pakan secara mandiri serta meningkatkan skala usaha 4 kali dari yang ada saat ini.
8.Analisis finansial
Salah satu aspek yang digunakan dalam menganalisis kelayakan usaha adalah dengan menganalisis aspek finansialnya. Dalam analisis finansial, kegiatan usaha dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya dalam kegiatan atau yang berkepentingan langsung dalam kegiatan. Untuk menentukan kelayakan usaha penangkapan dan pembesaran lobster,dapat digunakan kriteria B/C ratio, NPV danIRR (Kadariah, 1988); titik impas (break even point, BEP) (Riyanto, 1995) dan periode pengembalian modal (pay back period, PBP) (Soekartawi, 1995). Dengan menggunakan asumsi yang telah disebutkan di muka, maka diperoleh hasil analisis,seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5.Nilai B/C ratio, NPV, IRR, BEP dan PBP usaha penangkapan dan usaha pembesaran lobster di Teluk Ekas, 2003
Kriteria kelayakan
Penangkapan n=15
Pembesaran n=15
1. B/C ratio
1,53
1,71
2. NPV
2.905.327
9.923.020
3. IRR (%)
42,25
56,20
4. BEP volume produksi (kg)
29,73
35,67
5. BEP harga produksi (Rp)
100.891
93.038
6. Payback period (tahun)
2,5
1,5
Sumber : Data primer diolah, 2003
Hasil analisis (Tabel 5) menunjukkan bahwa baik usaha penangkapan maupun pembesaran lobster layak untuk diusahakan. Usaha penangkapan dengan B/C ratio 1,53 dan usaha pembesaran dengan B/C ratio 1,71, berarti bahwa dengan discount rate sebesar 18%/tahun, the present value dari benefit lebih besar dari pada the present value dari cost, dan hal ini berarti usaha tersebut menguntungkan. Semakin besar nilainya berarti usaha tersebut semakin menguntungkan (Pasaribu et al., 1988).Besarnya B/C ratio dipengaruhi oleh tingginya discount rate yang dipakai. Makin tinggi discount rate, makin kecil B/C ratio, dan jika discount rate tinggi sekali, B/C ratio dapat turun sampai menjadi lebih kecil dari 1 yang berarti bahwa usaha tersebut tidak lagi menguntungkan.
NPV dipakai sebagai ukuran dari hasil neto (net benefit) yang maksimal yang dapat dicapai dengan modal atau pengorbanan sumber-sumber lain. Suatu kegiatan dikatakan layak apabila NPV bernilai positif atau lebih besar dari nol. Hasil analisis (Tabel 5) memperlihatkan bahwa manfaat yang diperoleh dari suatu pengorbanan investasi dengan tingkat bunga 18%/tahun adalah Rp.2.905.327,- pada usaha penangkapan dan Rp.9.923.020,- pada usaha pembesaran, sehingga kedua usaha tersebut layak untuk diusahakan.
Usaha penangkapan dengan IRR sebesar 42,25%, menunjukkan bahwa tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh usaha penangkapan untuk sumberdana yang digunakan sebesar 42,25%. Usaha pembesaran dengan nilai IRR sebesar 56,20%, menunjukkan bahwa tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh usaha pembesaran dengan penggunaan modal investasi sebesar 56,20%. Semakin tinggi nilai IRR yang diperoleh, maka tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar makin tinggi yang berarti bahwa besarnya insentif yang diterima oleh pemilik modal dari modal yang dinvestasikan makin tinggi. Kriteria IRR lebih banyak digunakan dari pada kriteria lain dan dipakai sebagai kriteria utama di kalangan Bank Dunia untuk mengukur profitability proyek-proyek pembangunan, baik secara finansial maupun ekonomis (Gittinger, 1986).
Usaha penangkapan akan berada pada posisi BEP atau keuntungan sama dengan nol, apabila menghasilkan lobster sebanyak 29,73 kg atau jika harga satuan lobster yang diterima nelayan mencapai Rp.100.891/kg. Sedangkan usaha pembesaran akan berada pada posisi BEP, apabila volume produksi mencapai 35,67 kg atau jika harga satuan yang diterima nelayan mencapai Rp.93.038/kg. Dengan demikian, usaha penangkapan maupun usaha pembesaran layak diusahakan, karena mampu menghasilkan lobster sebanyak 44,68 kg dan 61,67 kg dengan harga satuan yang diterima nelayan sebesar Rp.150.000,- per kg atau 33-42% di atas BEP.
Bagi usaha penangkapan dimana produksi sangat fluktuatif karena dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti musim, kondisi perairan, maka kriteria BEP produksi sangat berguna untuk menentukan apakah produksi yang dihasilkan berada pada kondisi menguntungan atau merugi. Dalam kondisi dimana harga pasar lobster yang sangat fluktuatif terutama karena dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka harga BEP berguna untuk menentukan apakah tingkat harga pasar yang berlakumenguntungkan atau tidak, sehingga nelayan dapat mempertimbangkan apakah menjual produknya atau tidak.
Periode pengembalian modal (PBP) usaha penangkapan adalah 2,5 tahun atau lebih singkat dari usia ekonomisnya selama 4 tahun, sedangkan PBP usaha pembesaran adalah 1,5 tahun atau lebih singkat dari usia ekonomisnya selama 5 tahun. Hal ini berarti bahwa kedua usaha tersebut mampu mengembalikan modal investasinya sebelum usia ekonomisnya berakhir.
Untuk menentukan alternatif yang lebih baik dari kedua usaha tersebut, dilakukan uji kesamaan dua nilai tengah terhadap variabel kelayakan finansial usaha tersebut, seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil uji kesamaan dua nilai tengah kriteria kelayakan finansial antara usaha penangkapan dan usaha pembesaran lobster di Teluk Ekas, 2003.
Variabel
Penangkapan
Pembesaran
T
P
Pooled StDev
Mean
SE Mean
Mean
SE Mean
1. B/C ratio
1,53
0,073
1,71
0,054
2,02
0,054
0,248
2. NPV
2905327
731452
9923020
2260280
2,95*
0,0063
6506087
3. IRR
42,25
3,6
56,20
1,7
3,51*
0,0015
10,9
4. BEP Produksi
29,73
2,7
35,67
4,9
1,07
0,30
15,3
5. BEP Harga
100981
4306
93038
2698
1,55
0,13
13916
6. PBP
28,60
3,4
18,33
1,5
2,77*
0,0099
10,2
Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 95% (p<0 span="">0>
Hasil analisis (Tabel 6) menunjukkan bahwa B/C ratio, BEP volume produksi dan BEP harga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05), sedangkan NPV, IRR dan PBP menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0 :="" a="" adalah="" akan="" alternatif="" antara="" apabila="" b="" beberapa="" dan="" demikian="" dengan="" dibandingkan="" dihadapkan="" dikembangkan="" dimana="" diperoleh="" faktor="" hasil="" hasilnya="" kepastian="" kita="" lain="" layak="" lebih="" lobster.="" lobster="" maka="" mendukung="" merupakan="" nelayan="" pada="" pembesaran="" pemilihan="" penangkapan.="" pengembangan="" prioritas="" relatif="" sehingga="" span="" stabil="" terbaik="" terjamin="" terkontrol="" usaha="" yang="">dapat mengatur saat panen yang tepat denganmempertimbangkan tingkat harga yang terbaik; (c) biaya benih dan pakan masih dapat ditekan dengan mengusahakan penyediaan benih dan pakan sendiri dan (d) memungkinkan untuk dikelola secara komersial dengan penggunaan modal pinjaman karena adanya jaminan kepastian hasil yang diperoleh. Sedangkan pada usaha penangkapan yang selalu berhadapan dengan faktor-faktor ketidakpastian, sehingga sulit untuk dapat dikembangkan secara komersial, kecuali dengan peningkatan sarana penangkapan untuk menjangkau wilayah teritorial atau ZEE. Namun sebelum hal tersebut menjadi sebuah kebijakan perlu pengkajian yang mendalam terlebih dahulu.0>
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1.Kesimpulan
Usaha pembesaran lobster memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di Teluk Ekas, Lombok Timur dibandingkan dengan usaha penangkapan.
·Usaha pembesaran memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha penangkapan, yaitu Rp.4.120.281,-/tahun dibandingkan dengan Rp.2.242.278,-/tahun atau berbeda nyata (p<0 o:p="">0>
·Kondisi biofisik Teluk Ekas sesuai untuk pengembangan usaha pembesaran lobster. Ketersediaan benih dan pakan secara lokal, memungkinkan usaha ini dapat dikelola secara efisien dan berkelanjutan;
·Dari berbagai kriteria kelayakan finansial menunjukkan bahwa usaha pembesaran lebih layak diusahakan dibandingkan dengan usaha penangkapan atau berbeda nyata(p<0 adanya="" bagi="" banyak="" dan="" dapat="" dengan="" dikelola="" hasil="" jaminan="" juga="" kecil="" kepastian="" kerja="" komersial.="" lebih="" lobster="" masyarakat="" memberikan="" memungkinkan="" menyerap="" o:p="" pasar="" peluang="" pembesaran="" relatif="" resiko="" secara="" sehingga="" tenaga="" tingkat="" usaha="" yang="">0>
2.Implikasi kebijakan
Untuk mendukung pengembangan usaha pembesaran lobster yang efisien dan berkelanjutan perlu dilakukan upaya-upaya :
a.Usaha pembesaran lobster perlu dikelola pada skala usaha ekonomi. Untuk itu perlu diupayakan skim kredit yang sesuai untuk membantu permodalan nelayan mencapai skala usaha yang optimal.
b.Pengendalian usaha penangkapan lobster yang bersifat destruktif hendaknya dilarang agar tidak mengganggu proses regenerasi lobster terutama dalam upaya penyediaan benih dan pakan secara alami.
c.Pembenihan secara massal di panti pembenihan (hatchery) dan pembuatan pakan alternatif sebagai pakan pengganti (substitusi) maupun sebagai suplemen untuk mengurangi ketergantungan dari alam.
d.Peningkatan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap setiap aktivitas yang merusak lingkungan melalui optimalisasi tugas dan fungsi kelembagaan awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan dan suaka perikanan yang ada di kawasan Teluk Ekas.
e.Pembukaan jalur pemasaran langsung Mataram – Singapura atau negara tujuan ekspor lainnya, guna memperpendek rantai pemasaran lobster, sehingga harga di tingkat nelayan dapat ditingkatkan.
Ikuti Group Facebook : Young HRD Indonesia. Dapatkan informasi tentang dunia HRD, Manajemen SDM, Ilmu Pengembangan Diri dan FREE Ebook HRD (Human Resource Development) serta yang terpenting menjalin hubungan baik sesama HRD.
GRATIS Download Ebook HRD dan Ilmu Pengembangan Diri di bawah ini dengan klik