PENDAHULUAN
Tahun 2000 ditandai sebagai era reformasi ketiga dalam sistem pendidikan Jepang sejak restorasi Meiji yang dianggap sebagai awal modernisasi di segala aspek termasuk pendidikan. Reformasi kedua berlangsung pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan kedatangan misi Amerika Serikat dalam rangka memperbaharui sistem pendidikan Jepang yang sentralistik (Takakura & Ono, 2001).
Salah satu agenda reformasi pendidikan di Jepang adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik di tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam rencana reformasi yang yang disusun National Comission of Educational Reform (NCER) yang dituangkan dalam “The Rainbow Plan” pada tahun 2001, poin ke-5 menyatakan bahwa tenaga guru yang professional dihasilkan melalui beberapa cara, diantaranya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
Sebagai bentuk pelaksanaan keputusan tersebut, Central Educational Council mengeluarkan kebijakan berupa “shin kyouin hyouka seido” (sistem evaluasi guru yang baru) pada tahun 2002 dan “kyouinmenkyou koushin seido” (pembaharuan sertifikasi mengajar) pada tahun 2006. Menteri Pendidikan, Olahraga, Budaya, Sains dan Teknologi (MEXT) selanjutnya menyusun peraturan pelaksanaanya, dan pada tahun 2005 sekitar 88% prefektur telah menerapkannya (Hayo, 2006).
Ada dua poin penting yang tersirat dalam kedua kebijakan tersebut yaitu, perlunya mengembangkan sistem evaluasi guru dan uji kelayakan terhadap sistem sertifikasi yang selama ini berjalan. Kebijakan ini sekalipun mendapat protes dari kalangan pendidik terutama yang tergabung dalam Teacher Union, tetapi evaluasi guru telah diterapkan di hampir semua prefektur. Sedangkan kebijakan pembaruan lisensi mengajar masih dalam tahap sosialisasi.
Menurunnya kualitas pendidikan di Jepang yang ditandai dengan merosotnya prestasi siswa-siswa SD dan SMP dalam pengujian secara internasional yang dilakukan oleh negara-negara OECD baik dalam PISA maupun TIMMS, diduga akibat ketidakmampuan guru untuk mengantisipasi cepatnya perkembangan masyarakat Jepang dan dunia, serta memahami dinamisnya perubahan ekonomi dan politik.
Kondisi di atas diperburuk dengan meningkatnya kasus kriminal di kalangan siswa, seperti pelecehan antar siswa (ijime), absensi, bunuh diri dan putus sekolah. Berdasarkan kondisi tersebut, MEXT melakukan survey pada tahun 2004 dan diketahui bahwa sekitar 40% guru, terutama guru senior tidak layak untuk mengajar. Tetapi tuduhan ini perlu dibuktikan lebih lanjut, apakah pengajaran di sekolah berefek langsung kepada kasus kriminal tersebut.
Studi ini akan membahas kebijakan evaluasi guru di Jepang dari tiga sudut pembahasan yaitu, latar belakang, model dan pendekatan, efektifitas dan pelaksanaan di level sekolah. Latar belakang lahirnya kebijakan tersebut perlu dipelajari untuk memahami kondisi dan permasalahan guru yang mengemuka di Jepang, sekaligus untuk menganalisa korelasi antara kebijakan dengan fakta kualitas pendidikan di lapang. Analisa terhadap model dan pendekatan bertujuan untuk memahami apakah keduanya efektif dalam pencapaian tujuan program evaluasi guru, sedangkan analisa terhadap efektivitas dan pelaksanaan program dilakukan untuk memahami faktor pendukung dan penghambat terlaksananya program.
KAJIAN LITERATUR
Konsep neo liberalisme menjadi gerakan yang bersifat universal sejak tahun 1980-an yang dapat diamati dengan munculnya paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan untuk publik, antara lain, desentralisasi wewenang penanganan pendidikan dari pusat ke daerah, pengaturan beban pendanaan antara pusat dan daerah, peningkatan partisipasi masyarakat melalui kegiatan manajemen berbasis sekolah, privatisasi lembaga pendidikan yang mempertajam kompetisi, tuntutan transparansi dan akuntabilitas lembaga sekolah, standardisasi pendidikan, sertifikasi tenaga kependidikan, kurikulum yang berorientasi pasar, demokrasi dan gender (Altbach, 1971; Olssen & Peters, 2005; Henales and Edwards, 2000; Mochida, 2005; Hursh, 2005; Sanuki & Yotoriyama, 2008)).
Pengaruhnya dalam bidang pengelolaan tenaga kependidikan utamanya terlihat dalam kebijakan evaluasi guru, sertifikasi guru, sistem penggajian guru, dan kualifikasi tenaga pendidikan yang menjadi semakin ketat.
Ada tiga perubahan yang harus dilakukan sekolah untuk meningkatkan perannya di masa mendatang sebagai lembaga pendidikan, yaitu perlunya melibatkan masyarakat sebagai pemilik asli lembaga sekolah, memberikan keleluasaan hubungan guru dan murid yang mengarah kepada pelaksanaan asas demokrasi yang lebih luas, mengembangkan kemampuan akademik siswa melalui pembaharuan metode dan materi pelajaran yang lebih mencerminkan nilai-nilai daerah setempat (Emery, 2006). Hirota (2005, p.186) menyebutkan bahwa masalah pendidikan tidak saja bagaimana agar pendidikan di sekolah menjadi baik, tapi bagaimana pendidikan dapat membentuk masyarakat masa depan.
Untuk menjamin bahwa guru-guru memiliki kemampuan dasar yang standar sebagai tenaga pengajar, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban akan kualitas pendidikan yang terjamin kepada pihak konsumen, maka sertifikasi guru diberlakukan di beberapa negara sejak beberapa dekade yang lalu (Wollner, 1949; Goldhaber and Brewer,1996; Heine, 2006).
Pentingnya sertifikasi guru di Jepang mencuat pada masa Meiji saat dikeluarkannya UU tentang tenaga kependidikan pada tahun 1849 (Law for Certification of Education Personnel). Perundangan ini mengalami revisi beberapa kali hingga tahun 1988. Kobayashi (1993) menjelaskan bahwa perundangan ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang bersifat sentralistik masih berpengaruh kuat di bidang pendidikan. Kebijakan tentang pengembangan guru diatur secara hukum oleh Kementerian Pendidikan dan dilaksanakan secara top-down oleh lapisan administratur di bawahnya.
Terkait dengan peningkatan kualitas pengajaran guru-guru yang bersertifikat, pada tahun 1956 dikeluarkan kebijakan evaluasi guru yang dikenal sebagai kinmu hyoutei, tetapi tidak berjalan dengan sukses karena ditentang oleh Teacher Union (nikkyouso) (Takakura & Ono, 2001), atau dalam pernyataan yang lain Hayo (2006) menyebutkan karena adanya konflik antara kaum liberal dan sosialis.
Kebijakan kinmu hyoutei diujicobakan pertama kali di prefektur Ehime pada tahun 1956 yang selanjutnya diterapkan di seluruh prefektur, kecuali Tokyo yang menghapus kebijakan ini pada tahun 2001. Kebijakan ini dilatarbelakangi perseteruan antara LDP (Liberal Democratic Party) atau jimintou dengan partai sosialis yang mendapat dukungan penuh dari Teacher Union (nikkyousou). Partai penguasa pada saat itu adalah LDP yang berpengaruh di MEXT (Sato & Matsuzawa, 2002)
Penerapan kebijakan evaluasi guru yang dibebankan kepada kyouikuiinkai atau The Board of Education yang ada di setiap prefektur, dan pemantauan langsung oleh MEXT, menyebabkan kebijakan ini dianggap tidak mengakar (Sato & Matsuzawa, 2002).
Setelah lama vakum, sistem ini diberlakukan kembali tatkala National Comission of Educational Reform (NCER) mengeluarkan Rainbow Plan yaitu rencana pendidikan abad 21. Dengan alasan bahwa guru yang memiliki semangat kerja dan prestasi kerja harus dinilai dan diberi penghargaan, sistem evaluasi guru yang baru diperkenalkan (Takakura & Ono, 2001).
Evaluasi guru diperlukan sebagai parameter untuk mengukur pencapaian prestasi kerja guru, sekaligus sebagai titik tolak pengembangan program pendidikan guru selanjutnya (Wan Mo et.al., 1998). Evaluasi guru juga merupakan bagian dari siklus keprofesionalan seseorang ketika dia memutuskan untuk menerjuni profesi guru (Nevo, 1994).
Tetapi terlepas dari tujuan aslinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, kebijakan evaluasi guru juga diwarnai unsur politik yang melibatkan birokrat dan pertiakian partai (Sato & Matsuzawa, 2002).
Model evaluasi guru yang diterapkan di beberapa negara sangat bervariasi dengan faktor pembeda yaitu evaluator, materi evaluasi dan sangsi terhadap hasil evaluasi. Evaluator pada umumnya adalah atasan atau pengawas yang ditujuk oleh Kementerian Pendidikan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya, wacana tentang perlunya mengedepankan akuntabilitas publik di dunia pendidikan memunculkan ide baru yaitu keterlibatan lembaga independen sebagai evaluator eksternal. Dan sejalan dengan itu, untuk meningkatkan penilaian internal, maka dikembangkan pula konsep self evaluation (jiko hyouka), yaitu guru sekaligus sebagai evaluator untuk dirinya sendiri. Selain itu juga dikenalkan evaluasi yang dilakukan oleh teman sejawat, siswa dan orang tua (Katsuno, 1992).
Penilaian terhadap hasil evaluasi diarahkan untuk bermacam tujuan di antaranya pemberian bonus, penentuan gaji guru, dan penentuan uang pensiun. US dan Inggris mempunyai sejarah panjang dalam penerapan sistem evaluasi guru, dan sistem di Jepang dipengaruhi secara kuat oleh kebijakan yang sama di kedua negara tersebut (Katsuno, 1992; Honda, 2006 )
Pelaksanaan evaluasi guru di Jepang sangat unik, karena setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengembangkan model yang sesuai kekhasan daerah. Tokyo misalnya memberlakukan sistem kenaikan dan pengurangan gaji berdasarkan skor penilaian (Inui, 2004; Katsuno, 2003). Sistem plus minus seperti ini tidak diikuti oleh daerah lain karena diduga akan memunculkan ketidakharmonisan dalam atmosfer kerja guru di Jepang.
Prinsip kerja dalam grup dengan mengedepankan keunggulan grup daripada individu adalah hal mendasar dalam kehidupan masyarakat Jepang, sehingga penerapan evaluasi yang akan berakibat kepada keunggulan pribadi tidak bisa diterima secara luas (Takakura & Ono, 2001).
HASIL PEMBAHASAN
A. Permasalahan Pendidikan di Jepang dan Kelayakan Mengajar Guru
Berdasarkan data MEXT pada tahun 2005 terdapat 54,546 sekolah (TK hingga SMA) dengan jumlah siswa usia sekolah 16,276,949 orang, yang diajar oleh 1,091,520 guru tetap dan 133,381 guru honorer[1].
Survey yang dilakukan pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 50% guru yang dikategorikan sebagai guru yang kurang kapabel dalam membimbing atau dikenal dengan istilah “shidouryokufusokukyouin“ adalah guru-guru senior, yang berumur 40 tahun ke atas (Gb. 1).
Gb.1. Jumlah guru yang dikategorikan “shidouryokufusokukyouin” berdasarkan usia[2]
Adapun berdasarkan jenis sekolah, sebanyak 49% guru-guru di SD berpredikat tidak layak mengajar dan membimbing (Gb.2.). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, guru-guru laki-laki lebih banyak yang berpredikat kurang layak mengajar dan membimbing sebesar 72% (Gb.3.).
Gb. 2. Presentase sekolah yang memiliki guru dengan predikat “shidouryokufusokukyouin”
Gb.3. Presentase guru dengan predikat “shidouryokufusokukyouin” berdasarkan jenis kelamin
Menurunnya angka kelahiran di Jepang berdampak kepada menurunnya jumlah anak yang terdaftar sebagai peserta didik (Tabel 1). Selama 10 tahun (1995 – 2005) terjadi penurunan dalam jumlah murid dan jumlah sekolah, tetapi tidak diikuti dengan penurunan jumlah guru. Tahun 2004 hingga tahun 2005, pertambahan jumlah siswa baru dan sekolah baru bernilai negatif, sebaliknya jumlah guru justru bertambah pada level pendidikan dini dan dasar (TK dan SD). Beberapa sekolah mengalami merger, sebagaimana yang penulis amati di prefektur Nagano.
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa Jepang tidak mengalami masalah kekurangan guru, bahkan perkembangan jumlah guru di tingkat pendidikan dasar berbanding terbalik dengan jumlah siswa. Tetapi berdasarkan data OECD (OECD, 2005), rata-rata jumlah siswa per kelas di sekolah-sekolah Jepang sebesar 28.6 di tingkat pendidikan dasar dan 34 siswa per kelas di tingkat pendidikan menengah. Angka ini masih tergolong tinggi dibandingkan negara-negara anggota OECD lainnya (rata-rata 21.6 untuk pendidikan dasar dan 23.9 untuk pendidikan menengah) dan belum berhasil mencapai target MEXT yaitu mengembangkan kelas dengan jumlah siswa 20 orang per kelas (kebijakan yang ditetapkan dalam “Raibow Plan”, rencana reformasi pendidikan Jepang menyambut abad 21. Untuk mencapai angka ideal 20 siswa per kelas, MEXT perlu mendidik guru lebih banyak lagi.
Kelas kecil dianggap ideal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional Jepang, yang berprinsip kepada pembentukan akal, jiwa dan raga peserta didik. Dengan kelas kecil pula diharapkan dapat memudahkan guru untuk lebih mampu mengamati perkembangan anak didik satu per satu. Hal ini dianggap sebagai salah satu metode yang tepat untuk menekan kasus kriminal di kalangan siswa.
Kasus-kasus yang mencuat antara lain pelecehan antar siswa (“ijime”), absensi lebih dari 30 hari (Gb.4), Drop Out, hingga bunuh diri yang meningkat akhir-akhir ini sebagai ekses negatif “ijime”.
Kasus ijime mencuat pada tahun 1985, kemudian menurun dan mulai meningkat kembali di tahun 1994. Demikian pula dengan absensi siswa. Menurut Shimahara (2002) beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka absensi siswa adalah : sifat malas, kelelahan, kurang motivasi belajar, hubungan kurang baik antarteman, masalah emosi yang labil.
Para pengambil kebijakan di banyak negara berpendapat bahwa kelas kecil adalah bentuk kelas yang ideal dalam proses belajar siswa. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelas kecil akan berdampak positif terhadap proses belajar mengajar siswa dan peningkatan prestasi akademik siswa, jika guru sebagai instruktur di kelas memiliki kapabilitas yang memadai (Pedder, 2006). Oleh karena itu, yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kemampuan mengajar, membimbing, mendidik para guru di sekolah-sekolah.
Tabel 1. Jumlah Sekolah, Guru, dan Siswa di Jepang pada Tahun 1995-2005
Salah satu slogan mengenai perlunya ruang belajar yang memadai untuk tumbuh kembang siswa, tidak hanya dari segi ’space’ tetapi juga ‘time’, dikenal dengan istilah “yutori kyouiku” yang dilaksanakan secara nasional di Jepang. Tetapi sistem ini disinyalir sebagai penyebab penurunan prestasi akademik siswa, ditandai dengan merosotnya prestasi siswa-siswa Jepang dalam TIMMS dan PISA tahun 2003.
Sumber: School Basic Survey, Lifelong Learning Policy Bureau, MEXT
Gb.4. Jumlah siswa yang absen selama lebih dari 30 hari dalam satu tahun
Berkaitan dengan masalah di atas, arah reformasi pendidikan di Jepang yang tertuang dalam Rainbow Plan adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councilor, komite sekolah (gakkouhyouginseido) yang beranggotakan orang tua dan masyarakat, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan[3] .
B. Latar Belakang Kebijakan Evaluasi Guru
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa kebijakan evaluasi guru yang pertama (kinmu hyoutei) tahun 1956 muncul karena perseteruan politik antar partai yang dominan pada waktu itu yaitu LDP (Liberal Democratic Party) atau jimintou dan Partai Sosialis atau syakaitou.
Di dalam petunjuk penjelasan teknis yang dikeluarkan oleh MEXT yang sekaligus dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan di level Educational Board (kyouikuiinkai) di setiap daerah, disebutkan bahwa evaluasi guru yang baru diperlukan karena beberapa permasalahan yang muncul di sekolah Jepang sebagaimana disebutkan di atas.
Di dalam penjelasannya, Kyouikuiinkai prefektur Nagano menuliskan sebagai berikut :
Untuk memecahkan permasalahan pendidikan akhir-akhir ini seperti, rendahnya kemampuan akademik siswa, pelecehan antar siswa (ijime), absensi, drop out, beratnya beban guru untuk mengimplementasikan pengajaran sesuai kurikulum dan pembimbingan kepada siswa, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kompetensi guru yang mengajar dan membimbing siswa dan sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Tetapi banyak pakar yang mencurigai ‘hidden purpose’ dalam kebijakan ini dengan diberlakukannya pengurangan gaji bagi guru-guru yang mendapat skor penilaian rendah, seperti yang diterapkan di kota metropolitan Tokyo (Sato & Matsuzawa, 2002).
Teacher Union yang mengalami perpecahan di tahun 1989 akibat perbedaan pemahaman dalam menilai gerakan organisasi, mempunyai pandangan yang berbeda pula dalam mensikapi kebijakan ini. Kedua pecahan Teacher Union tersebut dikenal sebagai Nikkyousou dan Zenkyou. Nikkyouso memilih garis perjuangan yang lebih condong bekerjasama dengan pemerintah yang masih dikuasai oleh LDP, sedangkan Zenkyou memilih untuk meneruskan kedudukan sebagai oposisi pemerintah.
Sebagai contoh, daerah Hokkaido yang mayoritas guru-gurunya adalah anggota zenkyou, pada saat penulis melakukan penelitian di Souya salah satu distrik paling Utara di Hokkaido pada tahun 2005 bersikeras untuk tidak menerapkan evaluasi guru seperti panduan yang diberikan oleh MEXT melalui kyouikuiinkai.
Takakura dan Ono (2001) menguraikan bahwa melemahnya kekuatan Teacher Union akibat perpecahan organisasi dan kondisi ekonomi serta kompetisi global mendorong munculnya pembahasan tentang sistem evaluasi guru yang baru di Tokyo pada tahun 1998.
Selain itu kemunculan kebijakan ini di tengah kondisi anggaran negara yang sedang melemah, dan pembicaraan tentang bentuk sanksi terhadap guru yang mempunyai skor evaluasi rendah berupa pengurangan gaji, menimbulkan kecurigaan bahwa kebijakan evaluasi guru muncul sebagai akibat penerapan New Public Management (NPM).
NPM adalah sistem pelayanan publik yang baru dengan menitikberatkan pada perlunya efisiensi pendanaan, penyederhanaan struktur dan delegasi wewenang ke level daerah. Sistem ini dianut secara universal baik oleh pemerintahan negara maju, berkembang ataupun mulai dipaksakan penerapannya oleh lembaga donor internasional, yang dianggap sebagai aktor utama yang mendukung neo liberalisme dalam pengelolaan negara.
Privatisasi berbagai fasilitas publik seperti Kantor Pos, perusahaan perkeretaapian Jepang, Japan Railway (JR) pada masa pemerintahan PM Koizumi adalah salah satu bentuk nyata penerapan NPM, demikian pula Gakkou houjin seido atau The New Corporation Law, yaitu perubahan status Perguruan Tinggi dari PTN menjadi Badan Hukum.
C. Model dan Pendekatan Evaluasi Guru di Jepang
Penilaian dalam sistem evaluasi guru yang lama (kinmuhyoutei) dilakukan berdasarkan hasil penilaian atasan atau kepala sekolah saja, sehingga keobjektivan dan kebenaran penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, banyak pihak yang menentang metode ini termasuk Teacher Union.
Takakura dan Ono (2001) juga berpendapat bahwa penolakan terhadap evaluasi guru terjadi karena selama ini penilaian terhadap kinerja guru dan pengelolaan sistem ketenagakerjaan di bidang pendidikan dilihat berdasarkan masa kerja atau senioritas.
Sistem evaluasi guru yang baru memiliki karakteristik yaitu penilaian didasarkan kepada dua komponen, self-evaluation (jiko hyouka) atau evaluasi mandiri dan penilaian dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Penilaian mandiri bertujuan untuk mendorong guru untuk memiliki komitmen terhadap rencana dan tujuan yang dituliskannya, sekaligus untuk membantu guru memahami letak kekurangan dan kelebihan atau potensi dirinya yang perlu diperbaiki atau dikembagkan.
Adapun penilaian terhadap kualitas guru oleh kepala sekolah dan wakilnya berimbas kepada penentuan gaji, pengembangan karir dan juga moral guru. Yaitu bahwa guru-guru yang mendapatkan penilaian kurang baik akan berusaha untuk memperbaiki diri dan kualitas kerjanya.
Wacana sistem penggajian yang baru berdasarkan hasil evaluasi guru oleh kepala sekolah dan atasan tersebut menjadi polemik tajam di Jepang. Keberatan terhadap kebijakan tersebut adalah apakah kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dapat dijamin memiliki kemampuan sebagai evaluator dan akan adil dalam penilaian (Katsuno, 2000; Kodama, 2000, Sato & Matsuzawa, 2002).
Berdasarkan laporan dari Komite Pemeriksa Sistem Evaluasi Guru prefektur Nagano, disebutkan bahwa ada beberapa poin yang ditekankan sebagai target penilaian yaitu :
1. Gakusyuu shidou yaitu penilaian berdasarkan kualifikasi akademik guru, dan kegiatan mengajar di dalam kelas berdasarkan petunjuk pengajaran yang dikeluarkan MEXT (gakusyuushidouryou)
2. Seito shidou dan seikastsu shidou, yaitu pembimbingan dan pembinaan kepada siswa berupa pengarahan tentang perkembangan siswa (seito shidou) dan kebiasaan sehari-hari (seikastsu shidou) serta penanganan kelas (gakyyu keiei). Dalam hal ini setiap guru diharuskan untuk memahami jiwa anak, sikap, perilakudan perkembangan jasmani dan rohaninya dan mampu mengarahkannya kepada kebiasaan belajar dan semangat hidup.
3. Shinrou shidou, yaitu kemampuan mengarahkan siswa berdasarkan keinginannya, bakat dan kemampuan akademiknya, baik secara pribadi maupun bekerjasama dengan keluarga anak.
4. Tokubetsu katsudou, yaitu kemampuan membina anak untuk bekerjasaman dalam kegiatan atau event khusus di luar jam pelajaran di sekolah.
5. Gakkou keie, yaitu peran guru dalam manajemen sekolah, kemampuan bekerjasama dengan teman sejawat, memahami dan berusaha untuk mencapai tujuan sekolah.
6. Hogosya, chiiki to no renkei, yaitu kemampuan guru untuk membina kerjasama dengan orang tua murid dan komponen masyarakat.
7. Kenkyuu , kensyuu, yaitu semangat dan motivasi guru untuk mengembangkan diri dan meningkatkan potensinya melalui kegiatan penelitian dan training.
Dengan banyaknya komponen yang dinilai, maka evaluasi guru di Jepang adalah sebuah proses yang kompleks yang memakan waktu selama satu tahun. Tetapi komponen-komponen penilaian tersebut juga mencerminkan orientasi pendidikan di Jepang yang cenderung kepada perhatian yang lebih kepada perkembangan perorangan siswa dan bukan semata kemajuan secara kelompok. Selain itu terlihat pula adanya perluasan makna kerjasama dengan orang tua yang selama ini kurang dilibatkan dalam aktifitas pengajaran di sekolah.
Dalam pelaksanaannya setiap daerah mengembangkan model evaluasi sesuai dengan karakter daerah, tetapi pada dasarnya runutan langkahnya hampir sama.
Pelaksanaan evaluasi guru dimulai sejak awal tahun ajaran baru yaitu setiap akhir bulan April atau awal bulan Mei. Pada tahap awal, masing-masing guru menyusun rencana pembelajaran, target pencapaian, dan program kerjanya yang mengacu kepada tujuan sekolah dan prinsip pendidikan di sekolah yang dikembangkan oleh The Board of Education. Selanjutnya kepala sekolah dan wakilnya akan mewawancarai guru perihal rencana kerja yang dibuatnya dan memberikan masukan. Selanjutnya guru menerapkan program tersebut dalam aktifitas belajar mengajar dan kepala sekolah selama masa tersebut melakukan pengamatan intensif untuk mencocokkan antara rencana awal guru dan menganalisa permasalahan yang muncul.
Proses penilaian adalah sebagai berikut :
0 komentar:
Posting Komentar